Gambar Sampul SEJARAH · Bab 6 Indonesia Dalam Panggung Dunia
SEJARAH · Bab 6 Indonesia Dalam Panggung Dunia
Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi

22/08/2021 10:24:27

SMA 12 K-13 revisi 2018

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

199

Sejarah Indonesia

Bab VI

Indonesia Dalam Panggung

Dunia

“.... Mestikah kita bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan

bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antar pro-Rusia atau pro-

Amerika? Apakah tak ada pendirian yang harus kita ambil dalam mengejar

cita-cita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita

ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik

internasional, melainkan kita harus menjadi subjek yang menentukan sikap

kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia

merdeka seluruhnya.

“..... perjuangan kita harus diperjuangkan di atas dasar semboyan kita

yang lama: percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita

sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan dari

pergolakan politik internasional. Memang tiap-tiap politik untuk mencapai

kedudukan Negara yang kuat ialah mempergunakan pertentangan

internasional yang ada itu untuk mencapai tujuan nasional. Belanda

berbuat begitu, ya segala bangsa sebenarnya berbuat semacam itu, apa

sebab kita tidak akan melakukannya? Tiap-tiap orang di antara kita tentu

ada menaruh simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi

perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi

hendaknya didasarkan kepada realitas, kepada kepentingan Negara kita

setiap waktu.” .....(Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang”

Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1976)

Paragraf di atas adalah kutipan pidato Mohammad Hatta di depan

Sidang-sidang BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia)

pada 2 September 1948. Coba Kamu telaah pidato tersebut secara

cermat, setelah itu kaitkan dengan politik luar negeri Indonesia,

“bebas aktif”. Jelaskan menurut Kamu, adakah keterkaitan antara

pidato Mohammad Hatta tahun 1948 dengan politik luar negeri bebas

aktif?

200

Kelas XII SMA/MA

Pada September 1948, sebagai Wakil Presiden merangkap Perdana

Menteri dan Menteri Pertahanan Mohammad Hatta memberikan keterangan

kepada Badan Pekerja KNIP tentang kedudukan politik Negara Indonesia

saat itu. RI menghadapi berbagai rintangan yang tidak sedikit. Perundingan

dengan Belanda yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara dari PBB terancam

terputus. Sementara itu, kaum oposisi yang dimotori Front Demokrasi Rakyat

(FDR) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin - Muso telah menambah buruk

situasi dan kondisi politik dalam negeri, dengan berbagai tuntutannya, antara

lain: mendesak pemerintah RI untuk membatalkan perjanjian

Renville

yang

notabene dibuat dan disepakati oleh Kabinet Amir Syarifuddin.

Perubahan sikap Amir Syarifudin ini terkait erat dengan terjadinya

perubahan politik

Commintern

(Komunis Internasional) yang pada masa

Perang Dunia menganut

Doktrin Dimitrov

(garis lunak) yang mengizinkan

pihak Komunis bekerja sama dengan kapitalis untuk memerangi Fasis. Namun,

kebijakan ini berubah seiring munculnya Perang Dingin setelah berakhirnya

Perang Dunia II antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok

Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Melalui

Doktrin Zdanov

(garis keras)

komunis diperintahkan untuk kembali menganut sikap menentang kelompok

kapitalis. Perubahan sikap

Commintern

ini diyakini memicu perubahan sikap

partai-partai komunis di seluruh dunia, yang pada masa Perang Dunia II

bekerjasama dengan kelompok nasionalis berbalik menentang, hal inilah yang

diyakini menjadi latar belakang muncul perubahan sikap Amir Syarifudin dan

pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948.

Mengenai pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam

Perang Dingin di masa itu, fraksi FDR PKI dalam BP KNIP mendesak supaya

RI memilih pihak Uni Soviet. Terkait desakan tersebut, Hatta menyatakan

bahwa politik RI tidak memilih salah satu pihak, melainkan memilih jalan

sendiri untuk mencapai kemerdekaan. Sejak keterangan Hatta tersebut politik

Sumber: SindoNews.com

Gambar 6.1 M.Hatta sedang berpidato di depan sidang BP KNIP

201

Sejarah Indonesia

luar negeri RI disebut politik bebas dan aktif. Bebas artinya menentukan jalan

sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun juga; aktif artinya ikut serta

secara aktif dalam menciptakan perdamaian dunia dan bersahabat dengan

semua bangsa.

Dalam keterangan pemerintah di hadapan sidang BP KNIP tanggal

2 September 1948, Bung Hatta selaku Perdana Menteri mengatakan:

“pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek

dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi

subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan

tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya”. Selanjutnya Bung

Hata berkata: “Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan

dari pada pergolakan internasional”. Dengan kata lain, sikap netral yang

diambil Indonesia, bukan berarti Indonesia mengisolasi diri dan pasif terhadap

perkembangan dunia internasional. Sebaliknya justru Indonesia harus aktif

dalam forum internasional serta mampu memanfaatkannya demi kepentingan

nasional.

Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia merupakan amanat paragraf

keempat Preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa

Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Makna dari

amanat tersebut, pemerintah Indonesia harus turut serta memperjuangkan

terbebasnya pranata dunia dari segala macam bentuk kolonialisme. Indonesia

juga harus secara aktif mewujudkan tercapainya perdamaian dunia berupa

keterlibatan

aktifnya

dalam penyelesaian

konflik

di kawasan-kawasan

tertentu

maupun perjuangan bagi terciptanya perdamaian dunia.

Peran aktif Indonesia dalam pergaulan internasional diimplementasikan

dalam berbagai partisipasi aktif Indonesia dalam rangka menjaga perdamaian

dunia. Beberapa peran aktif di berbagai peristiwa seperti melaksanakan

Konferensi Asia Afrika, aktif dalam Gerakan Non Blok, membentuk ASEAN,

dan mengirim Pasukan Garuda ke berbagai wilayah konflik di dunia.

Untuk mendapatkan pengetahuan tentang politik luar negeri Indonesia

secara utuh dalam bab ini akan bahas tentang landasan politik luar negeri

bebas aktif Indonesia dan pelaksanaannya sejak tahun 1948 hingga masa

Reformasi. Selain itu akan dibahas juga peran aktif Indonesia di panggung

dunia/internasional khususnya dalam menjaga perdamaian dunia.

202

Kelas XII SMA/MA

203

Sejarah Indonesia

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari uraian ini, diharap kamu dapat:

1.

Menjelaskan Landasan Politik Luar Negeri Bebas Aktif

Indonesia.

2.

Menganalisis perkembangan politik luar negeri Indonesia

sejak tahun 1945

sampai dengan era Reformasi.

3.

Menganalisis peran Indonesia dalam percaturan politik

internasional/panggung dunia

khususnya dalam menjaga

perdamaian dunia.

4.

Mengambil hikmah dari penerapan politik luar negeri bebas

aktif dan partisipasi aktif Indonesia di panggung dunia.

ARTI PENTING

Mempelajari sejarah Indonesia dalam panggung dunia

merupakan hal yang sangat penting agar kita bisa mengetahui

faktor-faktor yang melatarbelakangi

lahirnya kebijakan

politik

luar negeri bebas aktif serta

implementasi/penerapannya sejak

proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945 hingga masa Reformasi.

Selain itu, kita bisa mengambil hikmah dari berbagai peristiwa

perjalanan

politik luar negeri bebas aktif dari setiap periode

pemerintahan sehingga

kita dapat mengambil hikmah dan

pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.

204

Kelas XII SMA/MA

Mengamati Lingkungan

Kamu diskusikan kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia saat

ini dalam kaitannya dengan perkembangan politik luar negeri Indonesia

saat ini.

Coba kamu temu kenali isu-isu atau masalah-masalah

di kawasan

yang memperlihatkan

konflik

kepentingan

antarnegara.

Bagaimana

pendapat kalian mengenai sikap Indonesia dalam merespons isu dan

masalah yang berkembang di atas.

A. Landasan Ideal dan Konstitusional Politik Luar Negeri

Indonesia Bebas Aktif

Politik luar negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan

sebagai suatu negara yang berdaulat. Setiap entitas negara yang berdaulat

memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional,

baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. Kebijakan

tersebut merupakan bagian dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan

merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai

sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yang senantiasa

berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan

situasi internasional.

Landasan ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah

Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung

dalam Pancasila dijadikan sebagai pedoman dan pijakan dalam melaksanakan

politik luar negeri Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah

satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang

termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan

berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan

manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah

satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia.

Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa

Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di

Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang

dari Pancasila.

205

Sejarah Indonesia

Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri

Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea

pertama

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan

oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak

sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”

dan alinea keempat

”....

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial....”.

Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan

nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945

alinea keempat yang menyatakan:

“Melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial....”

Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam

politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan

landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah

sesuai dengan kepentingan nasional.

Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan operasional

dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan

melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat

setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal

1 November 1945 yang isinya adalah; politik damai dan hidup berdampingan

secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain;

politik bertetangga baik dan kerja sama dengan semua negara di bidang

ekonomi, politik dan lain-lain; serta selalu mengacu pada Piagam PBB dalam

melakukan hubungan dengan negara lain.

Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan

operasional politik luar negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang

terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13

ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali

Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik

Republik Indonesia”.

Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar

Haluan Negara. Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto

tersebut memuat tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, yaitu:

206

Kelas XII SMA/MA

Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme

ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-

tengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku

kepada negara kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu

imbangan baru. Sementara dalam djangka pandjang di bidang luar negeri,

Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan imperialisme di mana-mana,

dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang kekal dan abadi.

Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art

jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal

kompromi, harus radikal dan revolusioner.

(Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971. Jakarta:

Deplu, 1971, hlm.259)

Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah

Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Walaupun

Indonesia sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan imperialisme belum

berakhir, sebab negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat),

masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya. Indonesia berusaha pula

menghindari dari keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk

menjadi anggota Non Blok.

Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan

pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama

“Djalanja Revolusi Kita”, yang menetapkan penegasan mengenai cara-cara

pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri. Politik luar negeri Indonesia

tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas

tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip

serta berpendirian.

Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran

serta doktrin baru, yaitu dunia tidak terbagi dalam Blok Barat, Blok Timur

dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga. Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua

Blok yang saling bertentangan yaitu

New Emerging Forces/Nefos dan Old

Established Forces/Oldefos.

Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit.

Sementara Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan.

Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti imperialis

dan kolonialis yang lebih militan. Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan

Oldefos itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif

dengan negara-negara Barat.

207

Sejarah Indonesia

Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia

kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, di antaranya

adalah Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang

penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia. TAP

MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:

1)

Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk

manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

2)

Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan

rakyat.

Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas

lagi dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar

Haluan Negara tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:

1) Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan

mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan

ekonomi;

2)

Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah

Asia Tenggara

dan Pasifik

Barat Daya, sehingga

memungkinkan

negara-

negara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui

pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat

wadah dan kerja sama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa

Asia Tenggara;

3)

Mengembangkan kerja sama untuk maksud-maksud damai dengan semua

negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya

dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan

kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan

nasional.

Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam pola umum

pembangunan jangka panjang dan pola umum Pelita dua hingga enam, pada

intinya menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar negeri yang bebas

dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya

dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian

dunia yang abadi, adil dan sejahtera. Namun demikan, menarik untuk dicatat

bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun

1966. Perbedaan ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno

ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengung-

dengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme

tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 di atas. Selain itu, sosok

208

Kelas XII SMA/MA

politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan

bidang ekonomi dan peningkatan kerja sama dengan dunia internasional.

Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar

negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan

pembangunan di segala bidang. Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR

sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan

saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran

politik

luar negeri

Indonesia

dijelaskan

secara

lebih spesifik

dan rinci.

Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika

politik internasional yang berkembang saat itu.

Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi yang dimulai

dari masa pemerintahan B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono secara substansif landasan operasional politik luar negeri

Indonesia dapat dilihat melalui: ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal

19 Oktober 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004. GBHN ini

menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis

ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam

integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di antaranya adanya

ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang

demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, GBHN juga menekankan

perlunya upaya reformasi di berbagai bidang, khususnya memberantas segala

bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan

ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai

dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:

1)

menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju

pencapaian tujuan nasional;

2)

ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja

sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;

3)

memperbaiki performa, penampilan diplomat Indonesia dalam

rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;

4)

meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan

ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional

dan internasional;

209

Sejarah Indonesia

5)

mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan

bebas;

6)

memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;

7)

mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam

kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan

kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.

Ketetapan MPR di atas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri

Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional,

menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung

perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta

meningkatkan kemandirian bangsa dan kerja sama internasional bagi

kesejahteraan rakyat.

TUGAS

Buatlah rangkuman materi tentang

landasan

ideal, konstitusional, dan

operasional politik luar negeri

indonesia.

B. Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Pelaksanaannya

1. Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia

belum memiliki rumusan yang jelas mengenai bentuk politik luar negerinya.

Akan tetapi pada masa tersebut politik luar negeri Indonesia sudah memiliki

landasan operasional yang jelas, yaitu hanya mengonsentrasikan diri pada

tiga sasaran utama yaitu; 1). Memperoleh pengakuan internasional terhadap

kemerdekaan RI, 2). Mempertahankan kemerdekaan RI dari segala usaha

Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia, 3). Mengusahakan serangkaian

diplomasi untuk penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui negosiasi

dan akomodasi kepentingan, dengan menggunakan bantuan negara ketiga

dalam bentuk

good

offices

ataupun mediasi dan juga menggunakan jalur

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sesuai dengan sasaran utama kebijakan politik luar negeri sebagaimana

disebut di atas, maka

Indonesia harus berusaha memperkuat kekuatan

diplomasinya dengan menarik simpati negara-negara lain.

210

Kelas XII SMA/MA

Dalam Perang Dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika

(Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur) pada masa awal berdirinya negara

Indonesia, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok

yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu

itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada

Inter Asian

Relations Conference

di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947.

Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk

bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia,

yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai

antarbangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada

di dunia. Dengan demikian di dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat

dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak memihak adalah

sikap yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian dunia atau paling tidak

meredakan Perang Dingin tersebut.

Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak

dalam Perang Dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada

juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu

mencari dukungan dunia Internasional terhadap perjuangan kemerdekaannya.

Oleh karena itu, keterikatan pada salah satu kubu (blok) yang ada belum tentu

akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan kemerdekaannya. Karena

pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat (Amerika) masih ragu-ragu

untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda

yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain pihak, para pemimpin

Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa

tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok

Timur terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain

itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan

atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah

tersebut.

Secara resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya

pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya

kepada BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai

kedudukan politik Indonesia pada bulan September 1948, pada saat itu Hatta

mengatakan bahwa:

“.........tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan

kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia

atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita

ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintahan berpendapat bahwa

pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek

211

Sejarah Indonesia

dalam pertarungan politik Internasional, melainkan kita harus menjadi

subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan

tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” ( Sumber: Sejarah

Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004)

Dari pernyataan Mohammad Hatta tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia

berkeinginan untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada saat itu.

Bahkan bercita-cita untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi atau

minimal meredakan Perang Dingin yang ada dengan cara bersahabat dengan

semua negara baik di Blok Barat maupun di Blok Timur, karena hanya

dengan cara demikian cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara

Indonesia dapat dicapai. Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak

memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia

berniat untuk menciptakan blok baru. Karena itu menurut Hatta, Indonesia

juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga

yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu.

Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik

luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang

artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya

tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan

meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara

“bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling

menghargai.

Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung

Antara Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948,

Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai

sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negara-

negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di

dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara

besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya

meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).

Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai

kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak

diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara asing

atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahkan untuk

Diskusikanlah dalam kelompok isi atau kandungan

dari Pembukaan UUD 1945, jelaskan kaitannya dengan

pelaksanaan politik luar negeri “Bebas Aktif ”.

212

Kelas XII SMA/MA

tercapainya tujuan nasional bangsa. Politik luar negeri bebas aktif inilah yang

kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia

pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar

negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta

konstelasi politik internasional pada saat itu.

2.

Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Parlermenter

1950-1959

Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pasca

kemerdekaan hingga tahun 1950an lebih ditujukan untuk menentang segala

macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh

pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di

Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik

bebas aktifnya. Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan

Sekutu membuat Indonesia memberikan perhatian ekstra pada bagaimana

mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan diproklamasikan pada

17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan strategi

agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia.

Pada waktu itu Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan

dunia internasional dengan cara diplomasi. Keberhasilan Indonesia

mendapatkan pengakuan dunia internasional melalui meja perundingan

ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai

kepentingannya. Betapa pada masa itu, kekuatan diplomasi Indonesia disegani

oleh negara-negara lain. Pada kondisi kemampuan militer dan ekonomi yang

kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan berhasil

mendapatkan pengakuan kedaulatan secara resmi melalui perundingan.

Sejak pertengahan tahun 1950-an, Indonesia telah memprakarsai

dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan

monumental, seperti Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955.

Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran

dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia. Salah

satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk

solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok

(GNB) atau (

Non-Aligned Movement

/NAM).

Forum

ini merupakan

refleksi

atas terbaginya dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika

Serikat ) dan Blok Timur (Uni Soviet). Konsep politik luar negeri yang bebas

aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari

belenggu penjajahan.

213

Sejarah Indonesia

3.

Politik Luar Negeri Indonesia Masa (Demokrasi Terpimpin)

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), politik luar negeri

Indonesia bersifat

high profile

, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan

kolonialisme yang tegas dan cenderung bersifat konfrontatif. Pada era itu

kepentingan nasional Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan

pembentukan identitas bangsa

(national character building)

. Kepentingan

nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang bertujuan

untuk mencari dukungan international terhadap eksistensi Indonesia sebagai

bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, sekaligus menunjukan

karakter atau identitas bangsa Indonesia pada bangsa-bangsa lain di dunia

internasional.

“Onward no retreat”

adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam

beberapa pidato Presiden Soekarno yang menunjukkan tekad revolusionernya

dalam membangun Kekuatan Dunia Baru

(new emerging forces).

Dalam

mempromosikan Indonesia ke dunia internasional Presiden Soekarno juga

menunjukkan bahwa dia mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat

yang tercermin dari Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang

menjadi jiwa bangsa Indonesia, yang diperhitungkan dapat menjadi satu

kekuatan (Nasakom Jiwaku). untuk mengalahkan

Nekolim

(Neo Kolonialisme

dan Imperialisme). Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik

luar negeri Indonesia yakni condong ke blok komunis, baik secara domestik

maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara

Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno memberi peluang

politik kepada PKI sehingga partai yang pernah menikam perjuangan bangsa

Indonesia pada tahun 1948, berkembang menjadi partai terbesar dan paling

berpengaruh di Indonesia sekitar tahun 1964-1965. Kebijakan Soekarno itu

didasari oleh keinginannya agar kaum komunis yang merupakan salah satu

kekuatan politik mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak

merasa dianggap sebagai kelompok luar.

Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan

usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia

internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun

diikuti Indonesia. Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari

dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan

Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan

prestige

menjadi

faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas

politik luar negeri ini. Sebagai dampaknya Soekarno banyak meninggalkan

masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan

214

Kelas XII SMA/MA

bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah

hal yang tidak terlalu penting. Ia beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-

pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah

hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi

domestik. Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif

namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada

kenyatannya

morat-marit

akibat

inflasi

yang terjadi

secara

terus-menerus,

penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek-proyek

Politik Mercusuar seperti GANEFO (

Games of The New Emerging Forces

)

dan CONEFO

( Conference of The New Emerging Forces)

terus membengkak.

Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab krisis politik dan

ekonomi Indonesia pada masa akhir pemerintahan Demokrasi Terpimpin.

Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan

dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme.

Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu

“Oldefos”

(Old Established Forces)

dan “Nefos”

(New Emerging Forces

).

Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya

akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan lama (Oldefos) dan

kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos).

Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme merupakan paham-paham

yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat. Dalam

upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politik

Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi

jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha penguatan

eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros

Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara-

negara sosialis dan komunis seperti China.

Faktor dibentuknya poros ini antara lain,

pertama

, karena konfrontasi

dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan

logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia

pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan

sekutu Inggris, salah satunya adalah China.

Kedua

, Indonesia perlu mencari

negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang

mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Namun sayangnya, seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan-kebijakan luar negeri yang diinisiasi

Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik.

Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme karena dalam

kenyataannya, sebagian dari bangsa dan negara Indonesia masih dikuasai

Belanda, yakni Irian Barat (sekarang Papua). Setelah jalan diplomasi selalu

215

Sejarah Indonesia

mengalami kegagalan, maka Soekarno memutuskan akan merebut kembali

Irian Barat dengan kekuatan bersenjata. Melihat kesungguhan Indonesia,

sikap Amerika Serikat yang kemudian berubah membantu Indonesia,

terutama setelah Indonesia memperoleh bantuan persenjataan dari Uni Soviet

guna mendapatkan kembali Irian Barat. Taktik konfrontatif ini kemudian

digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia

dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap

oleh Indonesia sebagai produk

Nekolim

(Neokolonialisme dan imperialisme).

Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota

Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia.

Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia menyatakan keluar dari

PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada Blok Barat.

Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan

dan modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan

internasional.

4. Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru terjadi perubahan pada pola hubungan luar negeri

Indonesia dalam segala bidang. Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia

lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi. Pembangunan

ekonomi tidak dapat dilaksanakan secara baik, tanpa adanya stabilitas politik

keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional. Pemikiran inilah yang

mendasari Presiden Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan politik

luar negeri (polugri), yaitu membangun hubungan yang baik dengan pihak-

pihak Barat dan “

good neighbourhood policy

” melalui

Association South East

Asian Nation

(ASEAN). Titik berat pembangunan jangka panjang Indonesia

saat itu adalah pembangunan ekonomi, untuk mencapai struktur ekonomi

yang seimbang dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa

abad yang akan datang. Tujuan utama politik luar negeri Soeharto pada awal

penerapan

New Order

(tatanan baru) adalah untuk memobilisasi sumber dana

internasional demi membantu rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan,

serta untuk menjamin lingkungan regional yang aman yang memudahkan

Indonesia untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya.

Berikut pernyataan Presiden Soeharto mengenai politik luar negeri

Indonesia yang bebas aktif.

“ Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-Blok tidak

identik dengan tidak adanya keterlibatan. Itulah alasannya mengapa

Indonesia lebih suka mengatakannya sebagai politik luar negeri yang

bebas dan aktif karena politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak

berjalan. Politik luar negeri Indonesia adalah bebas di mana Indonesia

216

Kelas XII SMA/MA

bebas dari ikatan apapun juga, baik itu dalam secara militer, politik ataupun

secara ideologis bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari berbagai

masalah atau peristiwa dengan tidak adanya pengaruh dari pihak manapun,

baik secara militer, politis, ataupun secara ideologis.” (Kumpulan Pidato

Presiden Soeharto, http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speech)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam bidang politik luar

negeri, kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih menaruh perhatian khusus

terhadap soal regionalisme. Para pemimpin Indonesia menyadari pentingnya

stabilitas regional akan dapat menjamin keberhasilan rencana pembangunan

Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia juga mempertahankan persahabatan

dengan pihak Barat, memperkenalkan pintu terbuka bagi investor asing,

serta bantuan pinjaman. Presiden Soeharto juga selalu menempatkan posisi

Indonesia sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya

tersebut, seperti halnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Beberapa sikap Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya

antara lain; menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Upaya mengakhiri

konfrontasi terhadap Malaysia dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali

kepercayaan dari Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui

investasi dan bantuan dari pihak asing. Tindakan ini juga dilakukan untuk

menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan kebijakan luar

negerinya yang agresif. Konfrontasi berakhir setelah Adam Malik yang pada

saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menandatangani Perjanjian

Bangkok pada tanggal 11 Agustus 1966 yang isinya mengakui Malaysia

sebagai suatu negara.

Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN

bersama dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Indonesia

memainkan peranan utama dalam pembentukan organisasi ASEAN. ASEAN

merupakan wadah bagi politik luar negeri Indonesia. Kerja sama ASEAN

dipandang sebagai bagian terpenting dari kebijakan luar negeri Indonesia. Ada

kesamaan kepentingan nasional antara negara-negara anggota ASEAN, yaitu

pembangunan ekonomi dan sikap nonkomunis. Dengan demikian, stabilitas

negara-negara anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri

sangatlah penting. ASEAN dijadikan barometer utama pelaksanaan kerangka

politik luar negeri Indonesia. Berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia coba

difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam forum regional ini. Pemerintahan

Soeharto mencoba membangun Indonesia sebagai salah satu negara Industri

baru di kawasan Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea

Selatan, Taiwan, dan Thailand sebagai macan-macan Asia baru. Di samping

itu, politik luar negeri Indonesia dalam forum ASEAN, juga untuk membentuk

citra positif Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan

sangat layak bagi investasi industri.

217

Sejarah Indonesia

Presiden

Soeharto

memakai

Kerja sama Ekonomi

Asia Pasifik

(APEC)

untuk memproyeksikan posisi kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya

Indonesia tidak setuju dengan APEC. Kekhawatiran itu didasarkan

pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan.

Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerja sama

antara negara-negara ASEAN. Setelah berakhirnya Perang Dingin, Indonesia

mengubah pandangannya terhadap APEC. Faktor pendorongnya antara

lain adalah karena Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya.

Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan

menjadi Ketua Gerakan Non Blok X pada tahun 1992, setidaknya memberikan

pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.

Selain ASEAN, keterlibatan Indonesia dalam membentuk kondisi

perekonomian global yang stabil dan kondusif, serta memaksimalkan

kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-negara

produsen atau penghasil minyak dalam OPEC. OPEC menjadi barometer

pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian

dunia.

Kepemimpinan Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang

berbeda dengan pendahulunya. Di paruh pertama kepemimpinannya, dia

cenderung adaptif dan

low profile.

Dan pada paruh terakhir kepemimpinannya,

sejak 1983, Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi

high profile.

Gayanya tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang

pada kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik-ekonomi

dan keamanan dalam negeri Indonesia, dengan nilai ingin menyejahterakan

bangsa, Soeharto mengambil gaya represif (di dalam negeri) dan akomodatif

(di luar negeri).

5. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi

Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih sangat

dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensi dan transisi

pemerintahan. Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada

upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia

serta memulihkan perekonomian nasional. Politik luar negeri Indonesia saat

itu lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada

politik internasional.

Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden

B.J. Habibie, pemerintah Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki

citra Indonesia di kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak

218

Kelas XII SMA/MA

krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat

di Timor-Timur. Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik

simpati dari Dana Moneter Internasional/

International

Monetary

Funds

(IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi

krisis ekonomi. Presiden Habibie juga menunjukkan cara berdemokrasi yang

baik dengan memilih tidak mau dicalonkan lagi menjadi presiden setelah

pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR-RI.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan RI

dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya

Timor- Timur dari NKRI. Presiden Wahid memiliki cita-cita mengembalikan

citra Indonesia di mata internasional. Untuk itu beliau banyak melakukan

kunjungan kenegaraan ke luar negeri. Dalam setiap kunjungan luar negeri

yang ekstensif, selama masa pemerintahan yang singkat Presiden Wahid

secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya

dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini,

selain isu Timor-Timur, adalah soal integritas tertorial Indonesia seperti kasus

Aceh, Papua dan isu perbaikan ekonomi.

Diplomasi di era pemerintahan Abdurahman Wahid dalam konteks

kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi,

rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya

menarik

dukungan

mengatasi

konflik

domestik,

mempertahankan

integritas

teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting adalah demokratisasi

melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional. Ancaman

terhadap disintegrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi kepentingan

nasional yang sangat mendesak dan menjadi prioritas. Akan tetapi kebijakan

politiknya itu ternyata dinilai oleh beberapa kekuatan politik dalam negeri

sebagai kelemahan, terutama dalam menghadapi masalah disintegrasi dan

konflik-konflik

horizontal

yang terjadi di beberapa

daerah

Indonesia.

Faktor-

faktor semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab pada awal tahun

2001, munculnya desakan dari DPR/MPR-RI agar Presiden Abdurrakhman

Wahid meletakkan jabatan selaku Presiden RI.

Setelah Presiden Abdurahman Wahid turun dari jabatannya, Megawati

dilantik menjadi Presiden perempuan pertama di Indonesia pada tanggal

23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan

dalam negeri menjadi agak lebih kondusif. Situasi ekonomi Indonesia

mulai membaik ditandai dengan nilai tukar rupiah yang stabil. Belajar dari

pemerintahan sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan

memertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan

diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden Megawati juga

219

Sejarah Indonesia

lebih memprioritaskan

kunjungannya

mendatangi

wilayah-wilayah

konflik

di

tanah air seperti, Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor

Barat.

Pada era pemerintahan Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi

ancaman bagi keutuhan teritorial. Selain itu, pada masa pemerintahan

Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di tanah air. Sehingga dapat

dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan

Megawati.

Pada Pemilihan Umum tahun 2004 yang merupakan pemilihan presiden

secara langsung oleh masyarakat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih

menjadi presiden mengalahkan Megawati. Ia dilantik menjadi presiden

Republik Indonesia ke-6 pada 20 Oktober 2004.

Selama era kepemimpinnya, SBY berhasil mengubah citra Indonesia

dan menarik banyak investasi asing dengan menjalin berbagai kerja sama

dengan banyak negara pada masa pemerintahannya. Perubahan-perubahan

global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di

masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan

bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal tersebut dapat dilihat

dengan berbagai inisiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang

sedang bermasalah. Indonesia berhubungan baik dengan negara manapun

sejauh memberikan manfaat bagi Indonesia.

Ciri politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan SBY, yaitu:

1.

Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara

lain (Jepang, China, India, dll).

2.

Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahan-

perubahan domestik dan perubahan-perubahan yang terjadi di luar

negeri (internasional).

3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba

menjalin hubungan dengan siapa saja (baik negara, organisasi

internasional, ataupun perusahaan multinasional) yang bersedia

membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.

4.

Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia

internasional. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST adalah

unity,

harmony, security, leadership, prosperity

. Prinsip-prinsip dalam

konsep TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri

Indonesia di tahun 2008 dan selanjutnya.

220

Kelas XII SMA/MA

TUGAS

1.

Jelaskan tentang landasan politik luar negeri Indonesia, dan apa yang

dimaksud dengan politik luar negeri bebas aktif!

2.

Jelaskan dasar pemikiran lahirnya kebijakan politik luar negeri bebas

aktif Indonesia!

3.

Jelaskan kaitan antara pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif

Indonesia dengan isi dari Pembukaan UUD 1945!

4.

“Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan

gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya

perdamaian dunia”. Kaitkan pernyataan tersebut dengan kebijakan

politik luar negeri bebas aktif Indonesia pada masa Demokrasi

Parlementer. Lakukan analisis!

5.

Jelaskan dinamika arah politik luar negeri Indonesia pada masa

Demokrasi Terpimpin!

6.

Jelaskan peran serta Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian

dunia, sebagai bentuk kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif,

pada masa Orde Baru!

7.

Buatlah perbandingan dalam hal penerapan kebijakan politik luar negeri

bebas aktif Indonesia yang dilakukan pada masa Presiden B.J. Habibie,

Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang

Yudhoyono!

8.

Dalam konteks Perang Dingin pada masa kini sudah tidak ada lagi,

masihkah diperlukan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif oleh

Indonesia? Mengapa? Buat analisis!

TUGAS

a.

Bagi peserta didik kedalam 6 kelompok

b.

Masing-masing kelompok mencari informasi tentang topik yang

berbeda. Topik tersebut adalah:

1.

Konferensi Asia Afrika (KAA)

2.

Gerakan Non Blok (GNB)

3.

Misi pemeliharaan Perdamaian Garuda

4.

ASEAN

5.

Organisasi Konferensi Islam (OKI)

6.

Deklarasi Djuanda

7.

Jakarta Informal Meeting

(JIM)

Informasi yang diperoleh akan dijadikan sumber untuk menulis makalah

kelompok pada pertemuan berikutnya.

221

Sejarah Indonesia

C. Peran Indonesia Dalam Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia

1.

Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955

Sumber: Bakosurtanal, 2011

Gambar 6.2 Kawasan negara peserta KAA

Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti berakhir

pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta

perdamaian dan keamanan. Ternyata di beberapa bagian dunia, terutama

di belahan bumi Asia dan Afrika, masih ada masalah dan muncul masalah

baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung, bahkan pada

tingkat perang terbuka, seperti di wilayah Korea, Indochina, Palestina, Afrika

Selatan, dan Afrika Utara.

Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok

kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok

Barat dan Blok Timur. Masing-masing Blok berusaha menarik negara-negara

Asia dan Afrika untuk menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatkan

tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung

di antara dua Blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut

dikenal dengan nama “Perang Dingin”.

Munculnya ketegangan dunia akibat dari adanya persaingan antara Blok

Barat dan Blok Timur sangat mengkhawatirkan sebagian negara-negara di

kawasan Asia dan Afrika yang pada akhir PD II sebagian besar baru memperoleh

kemerdekaannya. Adanya persaingan kedua blok tersebut, membuat negara-

negara Asia Afrika khawatir bahwa wilayah mereka akan dijadikan arena

persaingan dan perebutan pengaruh yang bisa menyebabkan ketidakstabilan

politik dan ekonomi di kawasan tersebut. Kekhawatiran mereka menjadi

kenyataan

dengan

munculnya

beberapa

konflik

di kawasan

Asia seperti Perang

Vietnam

dan Perang

Korea.

Dalam

dua konflik

tersebut,

pihak-pihak

internal

yang bersengketa

atau berkonflik

mendapatkan

dukungan

dari masing-masing

222

Kelas XII SMA/MA

blok. Korea Utara dan Vietnam Utara mendapatkan dukungan dari Blok Timur

(Uni Soviet), sedangkan pihak lawannya, Korea Selatan dan Vietnam Selatan

mendapatkan dukungan dari Blok Barat (AS). Dalam persaingan antara kedua

blok tersebut, keduanya memang tidak pernah berhadapan secara langsung

dalam perang terbuka.

Melihat fenomena seperti itu, beberapa pemimpin negara-negara Asia

Afrika yang baru merdeka, seperti Indonesia, India, Burma/Myanmar, Srilanka

dan Pakistan, berinisiatif untuk membuat pertemuan yang akan mendiskusikan

permasalahan-permasalahan dunia yang krusial pada saat itu. Keadaan itulah

yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia

Afrika.

Gagasan untuk mengadakan sebuah konferensi yang melibatkan negara-

negara Asia-Afrika diawali dari pertemuan di Kolombo yang digagas oleh

PM Srilangka Sir John Kotelawala. Pertemuan ini dikenal dengan Sidang

Panca Perdana Menteri yang dihadiri oleh para Perdana Menteri dari

Burma, Srilangka, India, Indonesia dan Pakistan. Munculnya gagasan untuk

mengadakan sidang ini didorong oleh kekhawatiran dan keprihatinan atas

situasi peperangan yang sedang berkecamuk di Indocina, dan perkembangan

perlombaan senjata nuklir antara dua blok.

Adanya undangan dari Srilangka tersebut disambut baik oleh Indonesia,

yang sejak bulan Juli 1953 pemerintahan Indonesia dipegang oleh Ali

Sastroamidjojo. Rencana pertemuan tersebut dinilai sebagai kesempatan yang

sangat baik untuk merealisasikan kebijakan politik luar negeri bebas aktif.

Kabinet Ali Sastroamidjojo dalam keterangannya di depan Parlemen

pada Agustus 1953 telah menegaskan, bahwa dalam usaha memperkokoh

perdamaian dunia perlu dirintis dan diorganisasi kerja sama antara negara-

negara Asia-Afrika terutama yang baru merdeka.

Sebelum berangkat PM Ali Sastroamidjodjo ke Kolombo, Menlu

Sunario dan para Dubes Indonesia di negara-negara Asia Afrika mengadakan

pertemuan di Tugu, Bogor. Pertemuan itu membahas rumusan-rumusan yang

akan menjadi bahan bagi PM Ali Sastroamidjojo untuk dibawa ke Kolombo,

sebagai dasar usul Indonesia untuk meluaskan gagasan kerja sama regional di

tingkat Asia-Afrika.

Sebelum berangkat ke Kolombo, PM Ali menemui Presiden Soekarno di

Istana Merdeka pada bulan April 1955. Dalam pertemuan tersebut, Presiden

Soekarno berpesan supaya dalam pertemuan Kolombo nanti, Indonesia

harus bisa memperjuangkan tekadnya untuk mengadakan sebuah konferensi

yang melibatkan banyak negara Asia-Afrika. “Ingat Ali, ini adalah cita-cita

223

Sejarah Indonesia

bersama; hampir 30 tahun yang lalu kita dalam pergerakan nasional melawan

penjajahan, kita sudah mendengungkan solidaritas Asia Afrika”, kata Presiden

Soekarno.

Pertemuan lima perdana menteri itu akhirnya berlangsung pada tanggal 28

April - 2 Mei 1954, Perdana Menteri Ceylon Srilangka (Sir Jhon Kotelawala),

Perdana Menteri Burma ( U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali

Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohamad Ali Jinah) melakukan pertemuan

informal di Kolombo. Pertemuan tersebut kemudian dinamakan Konferensi

Kolombo.

Pada awalnya pertemuan ini tidak memiliki agenda khusus dan hanya

“neighbours groups”

yang diadakan untuk mempererat hubungan antar

kepala negara. Namun pada saat pertemuan dilangsungkan, kondisi di Vietnam

mengalihkan hal tersebut. Lima kepala negara yang hadir lalu memfokuskan

perhatian pada kasus ini, terutama pada kemungkinan eskalasi perang yang

terjadi.

Adapun topik yang kemudian didiskusikan meliputi, kondisi Indocina,

bom hidrogen, kolonialisme dan nasonalisme serta komunisme internasional.

Gagasan Indonesia untuk mengadakan pertemuan negara-negara Asia-Afrika

akhirnya baru bisa disampaikan pada sidangnya yang ke-6 pada tanggal 30

April sore hari. PM Ali Sastroamidjojo berkesempatan mengajukan usulnya

supaya diadakan “suatu Konferensi yang sama hakekatnya dengan Konferensi

Kolombo, tapi lebih luas jangkauannya dengan tidak hanya memasukkan

negara-negara Asia tetapi juga negara-negara Afrika lainnya.

Hal yang menarik perhatian para peserta konferensi, di antaranya

pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo:

” Di mana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-

tengah persaingan dunia. Kita sekarang berada di persimpangan jalan

sejatah umat manusia. Oleh karena itu, kita Lima Perdana Menteri negara-

negara Asia bertemu di sini untuk membicarakan masalah-masalah

yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili.

Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk

mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika

dan Asia. Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di

negara-negara Asia yang terwakili di sini, tetapi juga sama pentingnya bagi

negara-negara Afrika dan Asia lainnya”. (Ali Sastroamidjojo, Tonggak-

tonggak di Perjalananku, Kinta, 1974)

224

Kelas XII SMA/MA

Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia

Afrika. Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan

pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh

semua peserta konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan. Akhirnya,

dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa

para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk

mengadakan konferensi negara-negara Asia dan Afrika dan menyetujui usul

agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjajaki kemungkinan mengadakan

konferensi tersebut.

Konferensi Kolombo selanjutnya menugaskan Indonesia agar menjajaki

kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka

menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui

saluran diplomatik kepada 18 negara Asia dan Afrika. Maksudnya, untuk

mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide

mengadakan Konferensi Asia Afrika. Dalam pendekatan tersebut dijelaskan

bahwa tujuan utama konferensi tersebut ialah untuk membicarakan kepentingan

bersama bangsa-bangsa Asia dan Afrika pada saat itu, mendorong terciptanya

perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai tempat konferensi.

Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide

tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumahnya.

Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri

peserta Konferensi Kolombo (Birma, Srilangka, India, Indonesia, dan

Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada 28 dan 29 Desember

1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Lima Negara. Konferensi ini

membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika. Konferensi

Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika

diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi

tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta

disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.

Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah

25 negara, yaitu: Afganistan, Kamboja, Federasi

Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China),

Mesir, Ethiopia, Pantai Emas

(Gold Coast)

, Iran, Irak,

Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya,

Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand

(Muangthai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam

(Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman. Waktu

Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April

1955.

Sumber: Jamie Mackie, 2005

Gambar 6.3 Gedung

Merdeka

225

Sejarah Indonesia

Mengingat negara-negara yang akan diundang mempunyai politik luar

negeri serta sistem politik dan sosial yang berbeda-beda. Konferensi Bogor

menentukan bahwa penerima undangan untuk turut dalam konferensi Asia

Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap

berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain. Konferensi

menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup

sesuatu negara tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain. Maksud utama

konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui

pendirian mereka masing-masing.

Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang

Konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya

serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai

tempat menginap para tamu yang berjumlah 1.300 orang. Dalam kesempatan

memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada 17 April 1955,

Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia

menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi

Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian

nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan

menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.

Pada 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan

kepada Kepala Pemerintahan 25 negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara

yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi

Afrika Tengah

(Central African Federation)

, karena memang negara itu masih

dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 negara lainnya

menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih

ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat

Jakarta pada 16 April 1955.

Pada tanggal 18 April 1955 Konferensi Asia Afrika dilaksanakan di

Gedung Merdeka Bandung. Konferensi dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan

pidato pembukaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sidang-

sidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua Konferensi Perdana Menteri RI Ali

Sastroamidjojo.

Konferensi Asia Afrika di Bandung melahirkan suatu kesepakatan bersama

yang merupakan pokok-pokok tindakan dalam usaha menciptakan perdamian

dunia. Ada sepuluh pokok yang dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka

itu disebut Dasasila.

226

Kelas XII SMA/MA

Dasasila Bandung

1.

Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan,

serta asas-asas kemanusiaan yang termuat dalam Piagam

PBB.

2.

Menghormati kedaulatan

dan integritas teritorial semua

bangsa.

3.

Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan

persamaan semua bangsa besar maupun kecil.

4.

Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam

negara lain.

5.

Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan

diri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan

Piagam PBB.

6.

Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.

7.

Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi

terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain.

8.

Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan

jalan damai seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain

yang sesuai dengan Piagam PBB.

9.

Memajukan kerja sama untuk kepentingan bersama.

10.

Menghormati

hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia

Afrika menganjurkan supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan

untuk diadakan pertemuan berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta

pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi usaha untuk mengadakan

Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan yang sulit diatasi.

Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah

(Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu dibatalkan.

Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan

dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi

masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi serupa bagi

227

Sejarah Indonesia

kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti

Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi

Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.

Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan

moral para pejuang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada masa itu tengah

memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah

sejumlah negara merdeka di Benua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan

bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk ke dalam

tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa Bandung dengan Dasasilanya

telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung

telah melahirkan paham Dunia Ketiga atau

“Non-Aligned”

terhadap dunia

pertamanya Washington dan dunia keduanya Moscow.

Dengan diselenggarakannya KAA di Bandung, kota Bandung menjadi

terkenal di seluruh dunia. Semangat perdamaian yang dicetuskan di Kota

Bandung dijuluki “Semangat Bandung” atau

“Bandung Spirit”

. Untuk

mengabadikan peristiwa sejarah yang penting itu jalan protokol di Kota

Bandung yang terbentang di depan Gedung Merdeka diberi nama Jalan Asia

Afrika.

Perhatikan foto di bawah ini, siapa saja yang ada dalam foto tersebut?

Sumber: Jamie Mackie, 2005

Gambar 6.4 Soekarno, M. Hatta, dan Tokoh KAA

228

Kelas XII SMA/MA

Sumber: Jamie Mackie, 2005

Gambar 6.5 Presiden Soekarno membuka KAA 1955

2.

Gerakan Non-Blok/

Non Align Movement

(NAM)

Gerakan Non-Blok (GNB) atau

Non Align Movement

(NAM) adalah suatu

gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan

lebih dari 100 negara-negara yang berusaha menjalankan kebijakan luar

negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap dirinya beraliansi dengan

Blok Barat atau Blok Timur. Gerakan Non Blok merepresentasikan 55 persen

penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Mayoritas negara-negara

anggota GNB adalah negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan

setelah

berakhirnya

Perang

Dunia II, dan secara geografis

berada

di benua

Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya di era 1950-an negara–

negara di dunia terpolarisasi dalam dua blok, yaitu Blok Barat di bawah

pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet.

Pada saat itu terjadi pertarungan yang sangat kuat antara Blok Barat dan

Blok Timur, era ini dikenal sebagai era Perang Dingin (

Cold War

) yang

berlangsung sejak berakhirnya PD II hingga runtuhnya Uni Soviet pada tahun

1989. Pertarungan antara Blok Barat dan Blok Timur merupakan upaya untuk

memperluas

sphere of interest

dan

sphere

of influence

. Dengan sasaran utama

perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia.

Dalam pertarungan perebutan pengaruh ini, negara-negara dunia ketiga

(di Asia, Afrika, Amerika Latin) yang mayoritas sebagai negara yang baru

merdeka dilihat sebagai wilayah yang sangat menarik bagi kedua blok untuk

menyebarkan pengaruhnya. Akibat persaingan kedua blok tersebut, muncul

beberapa

konflik

terutama

di Asia, seperti Perang

Korea,

dan Perang

Vietnam.

229

Sejarah Indonesia

Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang kuat dari para pemimpin

dunia ketiga saat itu untuk tidak terseret dalam persaingan antara kedua blok

tersebut.

Indonesia dapat dikatakan memiliki peran yang sangat penting dalam

proses kelahiran organisasi ini. Lahirnya organisasi Gerakan Non Blok

dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara dunia ketiga

terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya ketegangan dunia saat itu

karena adanya persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur.

KAA di Bandung merupakan proses awal lahirnya GNB. Tujuan KAA

adalah

mengidentifikasi

dan mendalami

masalah-masalah

dunia waktu

itu

dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama negara-negara yang baru

merdeka tersebut pada tataran hubungan internasional. Sejak saat itu proses

pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, tokoh-tokoh yang memegang

peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul Naser, Presiden

Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden

Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh

ini kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.

Adanya ketegangan dunia yang semakin meningkat akibat persaingan

antara Blok Barat dan Blok Timur, yang dimulai dari pecahnya perang Vietnam,

perang Korea dan puncaknya krisis Teluk Babi di Kuba, yang hampir saja

memicu Perang Dunia III mendorong para pemimpin negara-negara Dunia

Sumber: Deppen, 1975

Gambar 6.6 Presiden Soekarno sedang berpidato pada

KTT GNB I di Beograd

230

Kelas XII SMA/MA

Ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang diharapkan bisa berperan

mengurangi ketegangan politik dunia internasional saat itu.

Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok dicanangkan dalam

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia 16 September

1961 yang dihadiri oleh 25 negara dari Asia dan Afrika. Dalam KTT I tersebut,

negara-negara pendiri GNB berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan

dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik

dalam membangun upaya kerja sama di antara mereka. Pada KTT I ini juga

ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik

internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen

yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.

GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena

Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA

tahun 1955 yang diselenggararakan di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila

Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran

dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Tujuan

GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke luar. Tujuan ke dalam

yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial, dan

politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan ke luar, yaitu berusaha

meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju perdamaian

dan keamanan dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara-negara

Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Pokok

pembicaraan utama adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan

dengan tujuan Non Blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwa-

peristiwa internasional yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.

Dalam perjalanan sejarahnya sejak KTT I di Beograd tahun 1961, Gerakan

Non Blok telah 16 kali menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi, yang

terakhir KTT XVI yang berlangsung di Teheran pada Agustus 2012. Indonesia

sebagai salah satu pendiri GNB pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan

KTT GNB yang ke X pada tahun 1992. KTT X ini diselenggarakan di

Jakarta, Indonesia pada 1 September 1992 – 7 September 1992, dipimpin oleh

Soeharto. KTT ini menghasilkan “Pesan Jakarta” yang mengungkapkan sikap

GNB tentang berbagai masalah, seperti hak asasi manusia, demokrasi dan

kerja sama Utara Selatan dalam era pasca Perang Dingin.

KTT ini dihadiri oleh lebih dari 140 delegasi, 64 Kepala Negara. KTT ini

juga dihadiri oleh Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali.

231

Sejarah Indonesia

3. Misi Pemeliharaan Perdamaian Garuda

Sumber: Deppen, 1975

Gambar 6.7 Pelepasan Misi Garuda I Oleh Presiden Soekarno

Dalam rangka ikut mewujudkan perdamaian dunia, maka Indonesia

memainkan sejumlah peran dalam percaturan internasional. Peran yang cukup

menonjol yang dimainkan oleh Indonesia adalah dalam rangka membantu

mewujudkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam

hal ini Indonesia sudah cukup banyak mengirimkan Kontingen Garuda

(KONGA) ke luar negeri. Sampai tahun 2014 Indonesia telah mengirimkan

kontingen Garudanya sampai dengan kontingen Garuda yang ke duapuluh

tiga (XXIII).

Pengiriman Misi Garuda yang pertama kali dilakukan pada bulan Januari

1957. Pengiriman

Misi Garuda

dilatarbelakangi

adanya

konflik

di Timur

Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang dilakukan oleh

Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956. Sebagai akibatnya,

pertikaian menjadi meluas dan melibatkan negara-negara di luar kawasan

tersebut yang berkepentingan dalam masalah Suez. Pada bulan Oktober 1956,

Inggris, Prancis dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap Mesir.

Situasi ini mengancam perdamaian dunia sehingga Dewan Keamanan PBB

turun tangan dan mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding.

Dalam Sidang Umum PBB Menteri Luar Negeri Kanada Lester B. Pearson

mengusulkan agar dibentuk suatu pasukan PBB untuk memelihara perdamaian

di Timur Tengah. Usul ini disetujui Sidang dan pada tanggal 5 November 1956

Sekjen. PBB membentuk sebuah komando PBB dengan nama

United Nations

Emergency Forces

(UNEF). Pada tanggal 8 November Indonesia menyatakan

kesediannya untuk turut serta menyumbangkan pasukan dalam UNEF.

Sebagai pelaksanaanya, pada 28 Desember 1956, dibentuk sebuah pasukan

yang berkuatan satu detasemen (550 orang) yang terdiri dari kesatuan-kesatuan

Teritorium IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya. Kontingen Indonesia

untuk UNEF yang diberi nama Pasukan Garuda ini diberangkatkan ke Timur

Tengah pada bulan Januari 1957.

232

Kelas XII SMA/MA

Untuk kedua kalinya Indonesia mengirimkan kontingen untuk

diperbantukan kepada

United Nations Operations for the Congo

(UNOC)

sebanyak

satu batalyon.

Pengiriman

pasukan

ini terkait munculnya

konflik

di

Kongo (Zaire sekarang).

Konflik

ini muncul

berhubungan

dengan

kemerdekaan

Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia yang justru memicu pecahnya perang

saudara. Untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih banyak, maka PBB

membentuk Pasukan Perdamaian untuk Kongo, UNOC. Pasukan kali ini di

sebut “Garuda II” yang terdiri atas Batalyon 330/Siliwangi, Detasemen Polisi

Militer, dan Peleton KKO Angkatan Laut. Pasukan Garuda II berangkat dari

Jakarta tanggal 10 September 1960 dan menyelesaikan tugasnya pada bulan

Mei 1961. Tugas pasukan Garuda II di Kongo kemudian digantikan oleh

pasukan Garuda III yang bertugas dari bulan Desember 1962 sampai bulan

Agustus 1964.

Peran aktif Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia terus berlanjut,

ketika meletus perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.

Indonesia kembali diberikan kepercayaan oleh PBB untuk mengirim

pasukannya sebagai pasukan pemelihara perdamaian PBB. Untuk menjaga

stabilitas politik di kawasan Indocina yang terus bergolak akibat perang

saudara tersebut, PBB membentuk

International Commission of Control and

Supervision

(ICCS) sebagai hasil dari persetujuan internasional di Paris pada

tahun 1973. Komisi ini terdiri atas empat negara, yaitu Hungaria, Indonesia,

Kanada dan Polandia. Tugas ICCS adalah mengawasi pelanggaran yang

dilakukan kedua belah pihak yang bertikai.

Pasukan perdamaian Indonesia yang dikirim ke Vietnam disebut sebagai

Pasukan Garuda IV yang berkekuatan 290 pasukan, bertugas di Vietnam dari

bulan Januari 1973, untuk kemudian diganti dengan Pasukan Garuda V, dan

kemudian pasukan Garuda VII. Pada tahun 1975 Pasukan Garuda VII ditarik

dari Vietnam karena seluruh Vietnam jatuh ke tangan

Vietcong

(Vietnam Utara

yang komunis).

Pada 1973, ketika pecah perang Arab-Israel ke-4, UNEF diaktifkan lagi

dengan kurang lebih 7000 anggota yang terdiri atas kesatuan-kesatuan Australia,

Finlandia, Swedia, Irlandia, Peru, Panama, Senegal, Ghana dan Indonesia.

Kontingen Indonesia semula berfungsi sebagai pasukan pengamanan dalam

perundingan antara Mesir dan Israel. Tugas pasukan Garuda VI berakhir 23

September 1974 untuk digantikan dengan Pasukan Garuda VIII yang bertugas

hingga tanggal 17 Februari 1975. Selanjutnya Indonesia terus ikut berperan

aktif dalam menjaga perdamaian dunia dengan aktif mengirim pasukan

perdamaian ke berbagai wilayah konflik di seluruh dunia.

233

Sejarah Indonesia

Sejak tahun 1975 hingga kini dapat dicatat peran Indonesia dalam

memelihara perdamaian dunia semakin berperan aktif, ditandai dengan

didirikannya

Indonesian Peace Security Centre

(IPSC/Pusat Perdamaian dan

Keamanan Indonesia) pada tahun 2012, yang didalamnya terdapat unit yang

mengelola kesiapan pasukan yang akan dikirim untuk menjaga perdamaian

dunia (

Standby Force

).

4. ASEAN

Sumber: http/ymun.yira.org

Gambar 6.8 Foto Bendera Negara-negara Anggota ASEAN

Sumber: Deppen, 1975

Gambar 6.9 Foto Suasana Penandatanganan Deklarasi Pembentukan ASEAN di Bangkok

Mengamati Lingkungan

234

Kelas XII SMA/MA

Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan ASEAN adalah:

1.

Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan

perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara.

2.

Memajukan stabilisasi dan perdamaian regional Asia Tenggara.

3.

Memajukan kerja sama aktif dan saling membantu di negara-

negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknik,

ilmu pengetahuan dan administrasi.

4.

Menyediakan bantuan satu sama lain dalam bentuk fasilitas-

fasilitas

latihan dan penelitian.

5.

Kerja sama yang lebih besar dalam bidang pertanian, industri,

perdagangan, pengangkutan, komunikasi serta usaha peningkatan

standar kehidupan rakyatnya.

6.

Memajukan studi-studi masalah Asia Tenggara.

7.

Memelihara dan meningkatkan kerja sama yang bermanfaat

dengan organisasi-organisasi regional dan internasional yang

ada.

a. Pembentukan ASEAN

Menjelang berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, beberapa

pemimpin bangsa-bangsa Asia Tenggara semakin merasakan perlunya

membentuk suatu kerja sama regional untuk memperkuat kedudukan

dan kestabilan sosial ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada tanggal

5-8 Agustus di Bangkok dilangsungkan pertemuan antarmenteri luar

negeri dari lima negara, yakni Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul

Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), Narsisco Ramos (Filipina)

dan tuan rumah Thanat Khoman (Thailand). Pada 8 Agustus 1967 para

menteri luar negeri tersebut menandatangani suatu deklarasi yang dikenal

sebagai

Bangkok Declaration

. Deklarasi tersebut merupakan persetujuan

kesatuan tekad kelima negara tersebut untuk membentuk suatu organisasi

kerja sama regional yang disebut

Association of South East Asian Nations

(ASEAN).

Memahami Teks

235

Sejarah Indonesia

Dari tujuh pasal Deklarasi Bangkok itu jelas, bahwa ASEAN merupakan

organisasi kerja sama negara-negara Asia Tenggara yang bersifat non

politik dan non militer. Keterlibatan Indonesia dalam ASEAN bukan

merupakan suatu penyimpangan dari kebijakan politik bebas aktif,

karena ASEAN bukanlah suatu pakta militer seperti SEATO misalnya.

ASEAN sangat selaras dengan tujuan politik luar negeri Indonesia yang

mengutamakan pembangunan ekonomi dalam negeri, karena terbentuknya

ASEAN adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi, stabilitas

sosial budaya, dan kesatuan regional melalui usaha dengan semangat

tanggungjawab bersama dan persahabatan yang akan menjamin bebasnya

kemerdekaan negara-negara anggotanya.

Kerja sama dalam bidang ekonomi juga merupakan pilihan bersama para

anggota ASEAN. Hal itu disadari karena negara-negara ASEAN pada

saat itu adalah negara-negara yang menginginkan pertumbuhan ekonomi.

Meskipun demikian kerja sama dalam bidang lain seperti bidang politik

dan militer tidak diabaikan. Indonesia dan Malaysia misalnya melakukan

kerja sama militer untuk meredam bahaya komunis di perbatasan kedua

negara di Kalimantan. Malaysia dan Thailand melakukan kerja sama

militer di daerah perbatasannya untuk meredam bahaya komunis. Akan

tetapi Deklarasi Bangkok dengan tegas menyebutkan bahwa pangkalan

militer asing yang berada di negara anggota ASEAN hanya bersifat

sementara dan keberadaannya atas persetujuan negara yang bersangkutan.

Pada masa-masa awal berdirinya ASEAN telah mendapat berbagai

tantangan yang muncul dari masalah-masalah negara anggotanya sendiri.

Seperti masalah antara Malaysia dan Filipina menyangkut Sabah, sebuah

wilayah di Borneo/Kalimantan Utara. Kemudian persoalan hukuman mati

dua orang anggota marinir Indonesia di Singapura, kerusuhan rasialis

di Malaysia, dan permasalahan minoritas muslim di Thailand Selatan.

Akan tetapi, semua pihak yang terlibat dalam permasalahan-permasalahan

tersebut

dapat meredam

potensi

konflik

yang muncul

sehingga

stabilitas

kawasan dapat dipertahankan.

Aktivitas ASEAN dalam bidang politik yang menonjol adalah dengan

dikeluarkannya

Kuala Lumpur Declaration

pada 27 November 1971.

Deklarasi tersebut merupakan pernyataan kelima menteri Luar Negeri

ASEAN yang menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan

zone of

peace, freedom and neutrality

(ZOPFAN)/Zona Bebas Netral, bebas

dari segala campur tangan pihak luar. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi

ASEAN yang pertama di Bali pada 1976 masalah kawasan Asia Tenggara

236

Kelas XII SMA/MA

sebagai wilayah damai, bebas dan netral telah berhasil dicantumkan dalam

“Deklarasi Kesepakatan ASEAN” dan diterima sebagai program kegiatan

kerangka kerja sama ASEAN.

Selain menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dari negara-

negara

anggotanya

sendiri,

seperti

potensi

konflik

yang telah dijelaskan

sebelumnya. Tantangan ASEAN pada awal berdirinya adalah masalah

keraguan dari beberapa negara-negara anggotanya sendiri. Singapura

misalnya, menampakkan sikap kurang antusias terhadap ASEAN,

sementara Filipina dan Thailand meragukan efektivitas ASEAN dalam

melakukan kerja sama kawasan. Hanya Indonesia dan Malaysia yang

menunjukkan sikap serius dan optimis terhadap keberhasilan ASEAN

sejak organisasi tersebut didirikan.

Keraguan beberapa negara anggota ASEAN sendiri dapat dimaklumi

karena pada masa 1969-1974 dapat dikatakan sebagai tahap konsolidasi

ASEAN. Pada tahap tersebut secara perlahan rasa solidaritas ASEAN

terus menebal dan hal itu menumbuhkan keyakinan bahwa lemah dan

kuatnya ASEAN tergantung partisipasi negara-negara anggotanya. Pada

perjalanan selanjutnya ASEAN mulai menunjukkan sebagai kekuatan

ekonomi

yang mendapat

tempat

di wilayah

Pasifik

dan kelompok

ekonomi

lainnya di dunia seperti Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang.

Bidang sosial dan budaya pun menjadi perhatian ASEAN, melalui berbagai

aktivitas budaya diupayakan untuk memasyarakatkan ASEAN terutama

untuk kalangan remaja, seniman, cendikiawan dan berbagai kelompok

masyarakat lainnya di negara-negara anggota. Untuk itu, ASEAN pada

1972 telah membentuk suatu Panitia Tetap Sosial-Budaya.

Perkembangan organisasi ASEAN semakin menunjukkan perkembangan

yang positif setelah dalam KTT pertama di Bali pada 1976 dibentuk

Sekretariat Tetap ASEAN yang berkedudukan di Jakarta. Pada sidang

tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN di Manila tanggal 7 Juni 1976,

H.R. Dharsono (Sekretaris Jenderal Nasional ASEAN Indonesia) ditunjuk

sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama.

Pada KTT ASEAN di Bali tahun 1977 telah memperkuat Deklarasi Kuala

Lumpur dan telah berhasil menetapkan prinsip-prinsip program kerja

dalam usaha bersama untuk menciptakan stabilitas politik, memperat kerja

sama ekonomi, sosial dan budaya. KTT Bali telah berhasil menetapkan

cara-cara yang lebih konkret dan terperinci dan usaha-usaha kerja

sama regional ASEAN. Tindak lanjut dari KTT di Bali tersebut adalah

dilakukannya sidang menteri-menteri ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur

237

Sejarah Indonesia

pada 8-9 Maret 1977 untuk melaksanakan keputusan-keputusan KTT

ASEAN di bidang kerja sama ekonomi. Dalam sidang menteri-menteri

ekonomi tersebut disetujui asas saling membantu antarnegara ASEAN

dalam bidang pangan dan energi, terutama dalam soal pengadaan dan

produksinya.

Secara konkret masing-masing negara ASEAN membangun lima buah

proyek bersama. Kerja sama yang dimaksud adalah koordinasi antara

satu dengan lainnya. Dalam bidang perdagangan telah disepakati untuk

mengambil langkah-langkah bersama guna mengadakan dialog dengan

negara-negara Australia, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara

Timur Tengah, Eropa Timur, Masyarakat Ekonomi Eropa dan berbagai

kelompok negara lainnya.

Kerja sama antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara merupakan

suatu upaya konkret Indonesia untuk menciptakan stabilitas kawasan.

Indonesia menyadari kenyataan bahwa kerja sama regional itu tidak

akan berhasil meningkatkan kemakmuran nasional dan regional bangsa-

bangsa di Asia Tenggara dengan sebaik-baiknya, jika tidak ada keamanan

dan stabilitas di kawasan tersebut. Itulah sebabnya Indonesia senantiasa

berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari

penyelesaian dalam masalah Indocina. Indonesia berpendapat bahwa

penyelesaian Indocina secara keseluruhan dan Vietnam khususnya sangat

penting artinya dalam rangka memelihara keamanan dan menciptakan

stabilitas di Asia Tenggara.

Indonesia berpandangan bahwa negara-negara di Asia Tenggara paling

berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan

di kawasannya. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di Asia Tenggara harus

mencegah dan menghalau setiap campur tangan asing yang negatif dalam

segala bentuk dan manifestasinya.

Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia bisa dikatakan adalah

pemimpin ASEAN, kebijakan-kebijakan ekonomi ASEAN sangat

tergantung dari cara Indonesia bersikap. Peran sebagai pemimpin ASEAN

sempat memudar saat terjadi krisis ekonomi karena Indonesia sedang

mengalami masalah ekonomi dalam negeri dan situasi politik yang belum

stabil dalam rangka menuju demokratisasi. Indonesia kembali berperan di

era pemerintahan Presiden SBY, melalui momentum terpilihnya Indonesia

sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011. Indonesia mulai mengarahkan

ASEAN untuk mencapai suatu komunitas ekonomi yang kokoh di tahun

2015. Indonesia mengarahkan capaian implementasi Piagam ASEAN dan

Cetak Biru Komunitas ASEAN 2015.

238

Kelas XII SMA/MA

b. Pembentukan Komunitas ASEAN

Setelah berakhirnya Perang Dingin pada dekade 80-an, isu-isu ideologi

yang mengungkung dunia dan demikian halnya dengan ASEAN mulai

tersingkirkan, dan kerja sama kawasan semakin intensif dan menyeluruh

dalam berbagai bidang. Dalam upaya menempa integrasi dan kerja sama

yang lebih kuat di antara negara-negara anggota. ASEAN bersepakat untuk

mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk

suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil

dan sejahtera, saling peduli, dan diikat bersama dalam kemitraan yang

dinamis di tahun 2020. Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN

2020 yang ditetapkan oleh para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN

pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur tanggal

15 Desember 1997. Selanjutnya, untuk merealisasikan harapan tersebut,

ASEAN mengesahkan

Bali Concord II

pada KTT ASEAN ke-9 di Bali

tahun 2003 yang menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN

(ASEAN

Community).

Komunitas ASEAN terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu Komunitas Politik-

Keamanan ASEAN

(ASEAN Political-Security Community/APSC)

,

Komunitas Ekonomi ASEAN

(ASEAN Economic Community/AEC)

,

Komunitas Sosial Budaya ASEAN

(ASEAN Socio-Cultural Community/

ASCC)

. Indonesia menjadi penggagas pembentukan Komunitas Politik

dan Keamanan ASEAN serta memainkan peran penting dalam perumusan

dua pilar lainnya.

Pada KTT ASEAN ke-10 di Vientiane, Laos, tahun 2004, konsep

Komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga

Rencana Aksi

(Plan of Action/PoA)

untuk masing-masing pilar yang

merupakan program jangka panjang untuk merealisasikan pembentukan

Komunitas ASEAN. KTT tersebut juga mengintegrasikan ketiga Rencana

Aksi Komunitas ASEAN ke dalam

Vientiane Action Programme

(

VAP

)

sebagai landasan program jangka pendek–menengah untuk periode 2004–

2010.

Upaya kesepakatan pembentukan Komunitas ASEAN semakin kuat

dengan ditandatanganinya Deklarasi Cebu mengenai Percepatan

Pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015

(Cebu Declaration

on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by

2015)

oleh para Pemimpin ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu,

Filipina, tanggal 13 Januari 2007. Dengan ditandatanganinya Deklarasi

tersebut, para Pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan

Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015.

239

Sejarah Indonesia

Seiring dengan upaya perwujudan Komunitas ASEAN, ASEAN juga

menyepakati untuk menyusun semacam konstitusi yang akan menjadi

landasan dalam penguatan kerja sama. Dalam kaitan ini, proses penyusunan

Piagam ASEAN dimulai sejak tahun 2006 melalui pembentukan Kelompok

Ahli

(Eminent Persons Group/EPG)

dan kemudian dilanjutkan oleh

Gugus Tugas Tingkat Tinggi

(High Level Task Force)

untuk melakukan

negosiasi terhadap draf Piagam ASEAN.

Pada usia ke-40 tahun ASEAN, para Kepala Negara/Pemerintahan

ASEAN pada KTT ke-13 ASEAN di Singapura bulan November 2007

telah menandatangani Piagam ASEAN

(ASEAN Charter)

yang mengubah

ASEAN dari organisasi yang longgar

(loose association)

menjadi

organisasi yang berdasarkan hukum

(rules-based organization)

dan

menjadi subjek hukum

(legal personality)

.

Piagam ASEAN mulai diberlakukan pada tanggal 15 Desember 2008

setelah

semua

negara

anggota

ASEAN

menyampaikan

ratifikasi

kepada

Sekretaris Jenderal ASEAN. Peresmian mulai berlakunya Piagam

ASEAN tersebut dilakukan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono

di Sekretariat ASEAN. Untuk Indonesia, pemberlakuan Piagam ASEAN

ini disahkan melalui Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2008 tentang

Pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara

(Charter of The Association of Southeast Asian Nations)

. Implementasi

Piagam ASEAN mulai ditegaskan pada KTT ASEAN ke-14 di Hua Hin,

Thailand, pada tanggal 28 Februari–1 Maret 2009.

Piagam ASEAN adalah dokumen ASEAN yang mengubah ASEAN dari

sebuah asosiasi yang longgar menjadi sebuah organisasi internasional

yang memiliki dasar hukum yang kuat, dengan aturan yang jelas, serta

memiliki

struktur

organisasi

yang efektif

dan efisien.

Piagam

ASEAN

ditandatangani pada KTT ke-13 ASEAN pada tanggal 20 November

2007 di Singapura oleh 10 Kepala Negara/Pemerintahan Negara Anggota

ASEAN.

Piagam ASEAN mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 15 Desember

2008 setelah semua negara anggota ASEAN menyampaikan dokumen

pemberitahuan pengesahan ke Sekretariat ASEAN. Dalam hal itu,

Indonesia mengesahkan Piagam ASEAN melalui UU No. 38 Tahun 2008.

Piagam ASEAN memuat prinsip-prinsip yang tertuang dalam semua

perjanjian, deklarasi, dan kesepakatan ASEAN.

Piagam ASEAN berguna dalam memberikan kerangka kerja hukum

dan kelembagaan bagi ASEAN. Kedua hal tersebut memperkuat ikatan

kesetiakawanan kawasan untuk mewujudkan Komunitas ASEAN yang

240

Kelas XII SMA/MA

terpadu secara politis, terintegrasi secara ekonomis, dan dapat bertanggung

jawab secara sosial dalam rangka menjawab tantangan dan peluang saat

ini dan saat mendatang secara efektif.

Dalam Piagam ASEAN tersebut tercantum ketetapan ASEAN untuk

membentuk komunitas ASEAN tahun 2015. Komunitas ASEAN tersebut

terdiri atas 3, pilar yaitu Komunitas Politik Keamanan ASEAN, Komunitas

Ekonomi ASEAN, dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN.

Komunitas ASEAN adalah wadah untuk lebih mempererat integrasi

masyarakat ASEAN dan untuk menyesuaikan cara pandang keterbukaan

dalam menyikapi perkembangan dunia. Gagasan pembentukan komunitas

ASEAN itu dicetuskan pada tahun 1997 dalam visi ASEAN 2002 dan

dikukuhkan pada tahun 2003 pada KTT ke-9 di Bali. Pilar komunitas

ASEAN adalah tiga pilar dalam membangun komunitas ASEAN, yaitu

pilar politik-keamanan, pilar ekonomi, dan pilar sosial-budaya. Masing-

masing pilar memiliki bidang kerja sama antarnegara anggota ASEAN.

Pilar Komunitas Politik-Keamanan ASEAN menangani peningkatan

kerja sama di bidang politik dan keamanan untuk memelihara perdamaian

serta memajukan nilai Hak Asasi Manusia dan demokratisasi di kawasan

ASEAN. Komunitas Politik Keamanan itu bersifat terbuka, berdasarkan

pendekatan keamanan menyeluruh, dan tidak membentuk suatu pakta

pertahanan militer ataupun kebijakan luar negeri bersama. Penggagas

Komunitas Politik Keamanan ASEAN adalah Indonesia. Indonesia juga

memelopori penyusunan Rencana Aksi Komunitas Politik Keamanan

ASEAN yang disahkan pada KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Laos,

November 2004.

Pilar Ekonomi. Komunitas Ekonomi ASEAN/ (KEA) /

ASEAN Economic

Community (AEC)

ialah komunitas yang bekerja sama dalam upaya

memperdalam dan memperluas ekonomi terpadu di kawasan ASEAN dan

dengan kawasan di luar ASEAN. KEA bertujuan membentuk ASEAN

sebagai pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang lebih dinamis

dan berdaya saing, memiliki pembangunan yang setara, serta berupaya

mempercepat keterpaduan ekonomi di kawasan ASEAN dan dengan

kawasan di luar ASEAN.

Pilar Sosial-Budaya. Pilar Komunitas Sosial Budaya ASEAN merupakan

sebuah wadah untuk memperkuat keterpaduan ASEAN. Kerja sama itu

bertujuan untuk memperkokoh kesadaran, kesetiakawanan, kemitraan,

dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap ASEAN. Kerja sama sosial

budaya ASEAN mencakup bidang kebudayaan, penerangan, pendidikan,

lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, penanganan bencana

241

Sejarah Indonesia

alam, kesehatan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial, pengentasan

masyarakat dari kemiskinan, pemberdayaan perempuan, kepemudaan,

penanggulangan narkoba, peningkatan administrasi dan kepegawaian

publik.

Komunitas ASEAN berpusat pada masyarakat untuk penguatan

kesetiakawanan dan persatuan dalam perbedaan ciri-ciri kebudayaan

antarnegara anggota ASEAN. Persatuan dan kesetiakawanan tersebut

dibangun melalui penguatan identitas bersama dan pembangunan

masyarakat yang saling peduli, berbagi, dan harmonis.

ASEAN juga bertekad untuk memperkuat persatuan dan saling

pengertian terhadap perbedaan kebudayaan, sejarah, agama, dan peradaban.

Pada 22 November 2015 10 negara anggota ASEAN menandatangani

deklarasi komunitas ASEAN. Selanjutnya, pada 13 November 2017 para

pemimpin tingkat tinggi ASEAN meluncurkan

Masterplan

Konektivitas

ASEAN 2025.

5. Organisasi Konferensi Islam

Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah organisasi internasional yang

anggotanya terdiri atas negara-negara Islam seluruh dunia. Organisasi ini

didirikan pada tanggal 22 September 1969 saat Konferensi Tingkat Tinggi

(KTT) negara-negara Islam di Rabat Maroko atas prakarsa Raja Faisal dari

Arab Saudi dan Raja Hasan II dari Maroko. Latar belakang didirikannya

organisasi dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsho yang terletak di

kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969. Peristiwa pembakaran

tersebut menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam.

Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan

menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka

mengusahakan pembebasan Al-Quds. Pada awalnya OKI mempunyai 25

anggota dan saat ini jumlahnya bertambah menjadi 57 negara anggota serta

sejumlah negara pengamat, antara lain Bosnia Herzegovina, Republik Afrika

Tengah, Pantai Gading, dan Thailand.

OKI didirikan berdasarkan pada keyakinan atas agama Islam,

penghormatan pada Piagam PBB dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah

diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI yaitu; meningkatkan

solidaritas Islam serta mengkordinasikan kerja sama politik, ekonomi, dan

sosial budaya antarnegara-negara anggota, mendukung upaya perdamaian

dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan

membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan

berdaulat, dan bekerjasama untuk menentang diskriminasi rasial dan segala

bentuk penjajahan, menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling

pengertian di antara negara anggota dan negara-negara lain.

242

Kelas XII SMA/MA

Untuk mencapai tujuan di atas, negara-negara anggota menetapkan

5 prinsip, yaitu; 1) persamaan mutlak antarnegara-negara anggota, 2)

menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan

dalam negeri negara lain, 3) menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan

integritas wilayah setiap negara, 4) penyelesaian sengketa yang mungkin

timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi

atau arbitrasi, 5) abstain dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap

integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik suatu negara.

Konferensi para kepala negara/pemerintahan (Konferensi Tingkat Tinggi/

KTT) merupakan badan otoritas tertinggi dalam organisasi. Semula badan

tersebut mengadakan sidangnya apabila kepentingan umat Islam memandang

perlu untuk mengkaji dan mengkoordinasikan mengenai masalah-masalah

yang menyangkut kepentingan dunia Islam. Tetapi pada KTT III OKI di

Mekah, bulan Januari 1981, ditetapkan bahwa KTT diadakan sekali dalam

tiga tahun untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan diambil OKI.

Sedangkan untuk Konferensi Para Menteri Luar Negeri (KTM), sesuai

dengan artikel V Piagam OKI diadakan sekali dalam setahun bertempat di salah

satu negara anggota. Pertemuan yang dihadiri oleh para menteri luar negeri

tersebut akan memeriksa dan menguji

“progress report”

dari implementasi

atas keputusan-keputusan dari kebijakan yang diambil pada pertemuan KTT.

Sesuai artikel VIII Piagam OKI yang menyangkut keanggotaan dijelaskan

bahwa organisasi terdiri atas negara-negara Islam yang turut serta dalam KTT

yang diadakan di Rabat dan KTM-KTM (Konferensi Para Menteri Luar Negeri)

yang diselenggarakan di Jedah (Maret 1970), Karachi (Desember 1971) serta

yang menandatangani piagam. Kriteria yang dirancang oleh Pantia Persiapan

KTT I adalah “Negara Islam” adalah negara yang konstitusional Islam atau

mayoritas penduduknya Islam. Semua negara muslim dapat bergabung dalam

OKI.

Pada tahun-tahun pertama kedudukan Indonesia dalam OKI menjadi

sorotan baik di kalangan OKI sendiri maupun di dalam negeri. Indonesia

menjelaskan kepada OKI bahwa Indonesia bukanlah negara Islam secara

konstitusional atau tidak turut sebagai penandatangan Piagam. Tetapi Indonesia

telah turut serta sejak awal (Indonesia hadir pada KTT I OKI di Rabat Maroko)

dan juga salah satu negara pertama yang turut berkecimpung dalam kegiatan

OKI, kedudukan Indonesia disebut sebagai “Partisipan aktif”. Status, hak dan

kewajiban Indonesia sama seperti negara-negara anggota lainnya.

Pada awalnya, partisipasi Indonesia dalam OKI sangat terbatas, bahkan

keanggotaan Indonesia dalam OKI sempat menjadi perdebatan, baik di dalam

OKI maupun oleh kalangan dalam negeri. Ketika Piagam OKI dihasilkan

243

Sejarah Indonesia

pada tahun 1972, Indonesia tidak ikut menandatanganinya sehingga tidak

dikategorikan sebagai sebagai anggota resmi. Pertimbangannya adalah bahwa

berdasarkan UUD 1945, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun karena

adanya tuntutan dan desakan-desakan dari dalam negeri, dimana mayoritas

penduduk Indonesia adalah muslim, Indonesia tidak bisa meninggalkan OKI

bahkan kemudian mulai memberikan kontribusi secara aktif dalam OKI di

masa–masa berikutnya.

Pada dekade 1990-an, partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai terlihat,

yaitu ditandai dengan kehadiran Presiden Soeharto pada KTT OKI ke-6 di

Senegal pada Desember 1991. Hal ini dapat dilihat sebagai titik awal perubahan

kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI.

Partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai mendapatkan respons positif

dari banyak kalangan, bahkan Indonesia menjadi pemeran penting dalam

pelaksanaan agenda-agenda OKI. Indonesia dipandang memiliki peran yang

sangat strategis bagi OKI dan dunia Islam, karena Indonesia merupakan negara

dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang bukan negara Islam,

serta prestasi-prestasi Indonesia di dalam penerapan demokrasi. Indonesia

bisa dikatakan menjadi “model” ideal bagi dunia Islam dalam penerapan

demokrasi, karena dinilai berhasil di dalam menerapkan demokrasi. Selain itu

Indonesia juga dianggap sebagai “jembatan” penghubung antara dunia Islam

dengan dunia Barat. Kedekatan Indonesia dengan Barat dikarenakan prestasi

Indonesia di dalam pengembangan demokrasi, menjadi sebuah modal penting

bagi Indonesia untuk dekat dengan dunia Barat yang selama ini selalu giat

mengumandangkan demokratisasi dunia, terlebih pasca Perang Dingin.

Kontribusi nyata Indonesia sebagai anggota OKI yang paling memiliki

peran strategis di antaranya adalah pada tahun 1993, Indonesia menerima

mandat sebagai ketua

committee of six

yang bertugas memfasilitasi

perundingan damai antara

Moro National Liberation Front

(MNLF) dengan

pemerintah Filipina. Kemudian pada tahun 1996, Indonesia menjadi tuan

rumah bagi terselenggaranya Konferensi Tingkat Menteri OKI (KTM-OKI)

ke-24 di Jakarta. Selain itu, Indonesia juga memberikan kontribusi untuk

mereformasi OKI sebagai wadah untuk menjawab tantangan untuk umat

Islam memasuki abad ke-21. Pada penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di

Dakar, Senegal, Indonesia mendukung pelaksanaan

OIC’s Ten Year Plan of

Action

. Dengan diadopsinya piagam ini, Indonesia memiliki ruang untuk lebih

berperan dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut. Indonesia

berkomitmen dalam menjamin kebebasan, toleransi dan harmonisasi serta

memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam, demokrasi, dan modernitas.

244

Kelas XII SMA/MA

Dari peran-peran Indonesia dalam OKI tersebut nampak dengan nyata

usaha diplomasi Indonesia dalam dunia Islam yang tetap bebas dan aktif, bebas

karena tidak terikat dalam suatu blok tertentu, dan aktif dalam mengusahakan

segala kestabilan dan keharmonisan serta perdamaian dunia, baik dunia Islam

maupun Barat.

6. Deklarasi Djuanda

Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan sebuah

klaim atau pernyataan yang menjadi salah satu dasar kedaulatan wilayah

yang baru setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 dan Konferensi

Meja Bundar tahun 1949. Karena pernyataan tersebut dilakukan pada masa

Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaya maka lebih dikenal sebagai Deklarasi

Djuanda. Deklarasi Djuanda adalah suatu perjuangan bangsa Indonesia untuk

memperjuangkan batas wilayah laut, sehingga wilayah Indonesia merupakan

suatu kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek politik,

sosial budaya,

dan pertahanan

keamanan.

Melihat

kondisi

geografis

Indonesia

yang unik, banyaknya wilayah laut dibanding darat, menyadarkan pemerintah

Indonesia bahwa persoalan wilayah laut merupakan faktor penting bagi

kedaulatan negara.

Secara historis batas wilayah laut Indonesia telah dibuat oleh pemerintah

kolonial Belanda, yaitu dalam

Territorial Zee Maritieme Kringen Ordonantie

tahun 1939, yang menyatakan bahwa lebar wilayah laut Indonesia adalah

tiga mil diukur dari garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia.

Karenanya di antara ribuan pulau di Indonesia terdapat laut-laut bebas yang

membahayakan kepentingan bangsa Indonesia sebagai Negara Kesatuan.

Selama masa pendudukan bangsa Eropa di wilayah Nusantara, prinsip

kebebasan lautan yang diajarkan

Hugo de Groot

(Grotius), seorang ilmuwan

dari Belanda telah mengakibatkan datangnya pedagang-pedagang Belanda ke

negeri Nusantara melalui lautan, yang kemudian berlanjut dengan penjajahan.

Pada tahun 1608,

Hugo de Groot

menuliskan dalam bukunya bahwa Belanda,

seperti halnya bangsa Eropa yang lainnya, memiliki hak yang sama untuk

berlayar ke Timur. Dengan demikian, prinsip hak milik negara atas lautan

juga telah menyebabkan penguasaan Nusantara beserta lautnya oleh berbagai

kekuatan luar seperti Portugal, Spanyol, Inggris dan lain-lain. Selama kurang

lebih tiga abad selanjutnya, laut Nusantara lebih banyak berfungsi sebagai alat

pemisah dan pemecah belah kesatuan dan persatuan Indonesia.

Baru pada abad ke-20, melalui

Territoriale Zee en Maritieme Kringen

Ordonnantie

1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat

dengan Ordonantie 1939, wilayah laut dalam suatu pulau di Nusantara

245

Sejarah Indonesia

memiliki ketetapan hukum yang diakui secara internasional.

Ordonantie

1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga

mil. Peraturan ini, memunculkan ’kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-

tengah wilayah negara yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara

bebas. Ordonansi itu juga berlaku bagi kapal-kapal perang Belanda yang tidak

mungkin dilarang oleh Indonesia. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas

menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia karena memang

hukum laut internasional yang berlaku saat itu masih memungkinkannya.

Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya apalagi kekuatan Angkatan

Laut Indonesia masih jauh ketinggalan dengan Belanda.

Keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik

Indonesia jelas sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau

dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah

negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya.

Oleh sebab itu, mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut

Indonesia.

Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada

waktu itu, pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada

pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara

nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia. Desakan itu juga

didukung oleh departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Pertanian,

Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya, pada 17

Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk

suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU

(Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan

Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956.

Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.

Setelah bekerja selama 14 bulan akhirnya ’Panitia Pirngadi’ berhasil

menyelesaikan konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan

Maritim. Pada prinsipnya, RUU itu masih mengikuti konsep Ordonansi 1939;

perbedaannya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari tiga mil

menjadi 12 mil. Panitia belum berani mengambil berbagai kemungkinan

risiko untuk menetapkan asas

straight base line

atau asas

from point to point

mengingat kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih belum memadai. Sebelum

RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan oleh Kabinet Djuanda.

Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI terkait

masalah Irian Barat, pemerintahan Djuanda lebih banyak mencurahkan

perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI

dalam melawan Belanda yang lebih unggul dalam pengalaman perang dan

246

Kelas XII SMA/MA

persenjataan. Untuk itu, sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr.

Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan

keutuhan wilayah RI. Akhirnya, ia memberikan gambaran ’asas archipelago’

yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada 1951 seperti yang

telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya namun tidak berani untuk

menerapkannya dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap

RUU itu, disusun konsep ’asas negara kepulauan’.

Dengan menggunakan ’asas archipelago’ sebagai dasar hukum laut

Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’archipelagic

state’ yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan

hukum tata negara di dunia. Dalam sidang 13 Desember 1957, Dewan Menteri

akhirnya memutuskan penggunaan ’

Archipelagic State Principle

’ dalam tata

hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah

mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’. Dalam pengumuman itu,

pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang

menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara

Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah

bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian

merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan

mutlak Negara Republik Indonesia. Isinya adalah:

”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-

pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik

Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-

bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia

dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang

berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.

Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing

dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu

kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.

Dalam peraturan, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda,

disebutkan juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil

diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik

ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut

surut. Dengan keluarnya pengumuman tersebut, secara otomatis

Ordonantie

1939

tidak berlaku lagi dan wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara

pulau-pulau serta laut yang menghubungkan antara pulau-pulau tersebut.

Dalam Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi negara maritim

“Nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa

247

Sejarah Indonesia

Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat

pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan struktural

dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim.

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka

Ordonantie 1939

sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang

sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia

mengeluarkan peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan

tersebut. Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika

Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia

(3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan

Selandia Baru (11 Januari 1958). Reaksi penolakan tersebut sudah dipikirkan

oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan bahwa reaksi-reaksi

dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas dalam konferensi

internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan pada 1958 di

Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan reaksi protes

yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa.

Delegasi Indonesia yang datang pada konferensi internasional mengenai

hak-hak atas lautan yang diadakan di Jenewa terdiri atas Mr. Ahmad Subardjo

Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di

Swiss, Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M.

Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran). Dalam kesempatan itu delegasi Indonesia

mengemukakan asas

Archipelagic Principle

dalam pidatonya. Inilah untuk

pertama kali masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai

implementasi ’

Archipelagic Principle

’ terhadap suatu negara yang melahirkan

Archipelagic State Principle

’ yang pada waktu itu masih asing bagi dunia.

Asing karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun negara di dunia yang

menggunakannya. Meskipun telah dijelaskan lewat pidato, negara-negara

yang pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum dapat

menerima. Hanya, Indonesia mendapatkan dukungan dari Ekuador, Filipina,

dan Yugoslavia.

Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan beberapa cara untuk

mendapat simpati dari negara-negara lain, misalnya dengan menyebarkan

tulisan

The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea

.

Usaha itu mulai membuahkan hasil dan setelah itu mulai banyak negara-

negara yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.

Pemerintah Indonesia kemudian merancang peraturan 13 Desember

menjadi undang-undang agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada

tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/1960. Produk hukum inilah

248

Kelas XII SMA/MA

yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB ke-2

yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat

diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/1962

mengenai ’Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia, dan

masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam

sistem hukum di Indonesia.

Jalan Indonesia untuk memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan

mulai menemui kemudahan ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi

anggota

Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor

beyond the Limit of National Jurisdiction

yang merupakan badan PBB

untuk mempersiapkan Konferensi Hukum Laut PBB. Dipilihnya Indonesia

sebagai anggota badan tersebut, membuat Indonesia lebih mudah dalam

menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan agar mendapatkan

pengakuan dari pihak internasional. 12 Maret 1980, dengan menggunakan

dasar Hukum Laut Internasional mengenai

Economic Exclusive Zone

Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang Zone Ekonomi

Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983,

pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/1983.

Konsep negara kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negara-

negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut

Internasional.Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun

juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan

sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu kemenangan diplomasi

Indonesia yang patut dicatat sejarah. Karena itulah kini tanggal 13 Desember,

hari di saat UU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim dan

diterimanya Asas Negara Kepulauan, diperingati sebagai Hari Nusantara. Jika

pada Sumpah Pemuda (1928) rakyat Indonesia menyatakan diri sebagai suatu

bangsa, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan bangsa

tersebut, maka pada tanggal 13 Desember 1957 ini dinyatakanlah wilayah

yang menjadi tanah airnya.

Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 melalui

United

Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS) hingga kini telah

diratifikasi

oleh 140 negara.

Negara-negara

kepulauan

(

Archipelago States

)

memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Ekslkusif (ZEE) seluas 200 mil

laut di luar wilayahnya. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam Undang-

Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan

United Nations Convention

on the Law of the Sea

(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum

Laut).

Dengan ditetapkannya Deklarasi Djuanda dan diresmikannya deklarasi

itu menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang perairan Indonesia.Wilayah negara

249

Sejarah Indonesia

RI yang semula luasnya 2.027.087 km

2

(daratan) bertambah luas lebih kurang

menjadi 5.193.250 km

2

(terdiri atas daratan dan lautan). Ini berarti bertambah

kira-kira 3.106.163 km

2

atau 145%. Manfaat dari deklarasi Djuanda ini

berlanjut kepada bertambah besarnya perairan laut Indonesia. Deklarasi ini

mengandung konsep tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat

pemisah dan pemecah bangsa tetapi dinilai sebagai alat pemersatu dan wahana

pembangunan nasional.

7.

Jakarta Informal Meeting (JIM)

I dan II

Pada tahun 1970 di Kamboja, terjadi kudeta yang pada saat itu dipimpin

oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Ketika itu, Pangeran Norodom Sihanouk

sedang berada di luar negeri, keponakannya yang bernama Pangeran Sisowath

Sirik Matak bersama Lo Nol melakukan kudeta kekuasaan, sejak peristiwa itu

terjadi perang saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Sihanouk

kemudian memilih untuk mengasingkan diri di Beijing dan memutuskan

untuk beraliansi dengan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menentang

pemerintahan Lon Nol dan akhirnya dapat merebut kembali tahtanya.

Pada tahun 1975 Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil

menggulingkan Lon Nol dan mengubah format kerajaan menjadi sebuah

Republik Demokratik Kamboja (

Democratic Kampuchea

/ DK) yang dipimpin

oleh Pol Pot. Namun sayangnya, semasa Pol Pot berkuasa Kamboja terperosok

dalam tragedi yang mengenaskan di mana Khmer Merah menjalankan program

Cambodia the Year Zero,

yaitu dengan menjadikan Kamboja sebagai Negara

Agraris. Namun program ini justru berakhir dengan tewasnya sekitar tiga juta

orang rakyat Kamboja akibat kelaparan, wabah penyakit dan pembantaian.

Pada akhir 1978, terjadi bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer

Merah dengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga terjadi pembantaian

orang- orang keturunan Vietnam di Kamboja, sehingga Vietnam menyerbu

Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan genosida besar-besaran tersebut.

Invasi Vietnam berhasil menggulingkan rezim Khmer Merah dan pada bulan

Januari 1979, Vietnam mendirikan rezim baru di Kamboja dengan Heng

Samrin bertindak sebagai kepala negaranya. Pembentukan pemerintahan

baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja, termasuk Sihanouk

sendiri, yang kemudian membentuk kelompok perlawanan yang dikenal

sebagai

Coalition Government of Democratic Kampuchea

(CGDK) yang

terdiri atas kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan Vietnam,

Front

Uni National

pour un Cambodge

Independent,

Neutre

Pacifique

et

Cooperatif

(FUNCINPEC) di bawah pimpinan Sihanouk dan

Khmer People

Liberation Front

(KPNLF) di bawah pimpinan Son Sann.

250

Kelas XII SMA/MA

Perang saudara kemudian terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda

penyelesaian.Kenyataan yang menyebabkan kesengsaraan yang sangat

memprihatinkan bagi rakyat Kamboja inilah yang kemudian mendorong

Indonesia bersama-sama negara-negara anggota ASEAN lainnya memulai

prakarsa serta berbagai upaya mediasi guna mencari penyelesaian yang damai,

adil, langgeng

dan menyeluruh.

Pada gilirannya,

konflik

internal

ini melibatkan

campur tangan dari pihak di luar Kamboja dalam upaya penanganan masalah

yang dinilai dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.

Dalam

kerangka

penyelesaian

konflik

Kamboja,

berbagai

upaya telah

dilaksanakan untuk mencapai sebuah perdamaian. Salah satu negara yang

memainkan

peran signifikan

dalam

penyelesaian

konflik

Kamboja,

adalah

Indonesia.

Hal tersebut

bermula

dari awal tahun 1980-an

di mana konflik

internal tengah mengalami eskalasi yang memprihatinkan, Indonesia semakin

meningkatkan perhatiannya terhadap masalah yang terjadi di Kamboja. Hal ini

tentunya sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang turut aktif dalam

menghadapi permasalahan-permasalahan dunia seperti juga yang termuat

dalam Mukadimah UUD 1945 yaitu turut mewujudkan perdamaian dunia.

Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu pendiri dan soko guru ASEAN

juga harus menunjukkan kapasitasnya sebagai stabilisator utama di kawasan,

di mana hal ini juga tentunya sejalan dengan tujuan ASEAN dalam upayanya

untuk mengatasi

konflik

yang berkepanjangan

di negara tersebut

sehingga

demi

perdamaian dapat tercapai di kawasan. Pembentukan

Coalition Government

of Democratic Kampuchea

(CGDK) pada tahun 1982 dengan Sihanouk selaku

Presidennya, diakui oleh ASEAN dan didukung oleh negara-negara Barat dan

anggota PBB lainnya. Peristiwa ini mendorong dipercepatnya penyelesaian

konflik

Kamboja

di meja perundingan,

baik pada tingkatan

regional

maupun

internasional.

Di lain pihak, reputasi Indonesia sebagai mediator/penengah yang disegani

di kawasan telah memperoleh pengakuan oleh negara-negara ASEAN. Hal ini

dibuktikan dengan dipilihnya Indonesia sebagai ‘penghubung” antara ASEAN

dan Vietnam yang menunjukan semakin menonjolnya peranan Indonesia

dalam penyelesaian

konflik

ataupun

rekonsiliasi

di Kamboja.

Tercatat

pada

bulan Mei 1984 berlangsung pertemuan tahunan ASEAN tingkat menteri di

Jakarta, yang tujuan pokoknya adalah rekonsiliasi nasional dan pembahasan

upaya penyelesaian

konflik

Kamboja

melalui

jalan damai.

Dalam

pertemuan

tersebut, Indonesia kemudian terpilih sebagai “penghubung” antara ASEAN

dan Vietnam dengan tugas memperjuangkan tercapainya dialog murni

dengan Vietnam dalam rangka mencari suatu pendekatan yang aktif terhadap

penyelesaian masalah dalam kerangka keamanan strategis kawasan.Perjuangan

251

Sejarah Indonesia

diplomasi Indonesia tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri Luar

Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmaja yang secara aktif mulai menyusun

berbagai strategi sebagai

Interlocutor

guna mengupayakan penyelesaian

konflik secara damai di Kamboja.

Mochtar Kusumatmadja merintis perjuangan awal diplomasi Indonesia

untuk mengundang para pihak terkait yang terlibat dalam pertikaian untuk

duduk bersama di meja perundingan, dan mengusulkan agar pertemuan yang

dimaksud harus diadakan di tempat yang netral seperti Indonesia, yaitu agar

pihak-pihak yang saling bertikai merasa bebas dalam membicarakan masalah

Kamboja dan masa depannya. Penujukan mandat kepada Indonesia, berhasil

diemban dengan baik oleh Mochtar Kusumaatmadja yang sukses meyakinkan

Vietnam untuk dapat turut berpartisipasi dalam perundingan dengan faksi-

faksi yang bertikai di Kamboja melalui

Ho Chi Minh City Understanding.

Berangkat dari gagasan awal Indonesia, perjuangan selanjutnya dalam

upaya

membawa

perdamaian

atas konflik

internal

yang berkecamuk

di

Kamboja kemudian dijalankan oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas (pengganti

Mochtar Kusumatmadja) yang bertindak sebagai tokoh kunci, dan sebagai

“pelaksana” terhadap jalannya berbagai proses mediasi, hingga tercapai suatu

babak baru dalam lembaran sejarah perdamaian di Kamboja.

Ali Alatas yang baru menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI pada tahun

1988 segera membuat gebrakan awal dengan melakukan kunjungan perkenalan

ke ibukota negara-negara ASEAN, yaitu dalam rangka menindaklanjuti

usulan Mochtar untuk mengadakan pertemuan informal di Jakarta. Konsep

ini pada awalnya kurang mendapat dukungan dari Menlu ASEAN lainnya,

namun melalui serangkaian kunjungan dan pendekatan yang dilakukan oleh

Ali Alatas tersebut, pada akhirnya Indonesia dapat memperoleh dukungan

yang kuat dari masyarakat internasional.

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki

hubungan yang lebih dekat dengan Vietnam. Hal ini terlihat dengan tindakan

Indonesia sebagai negara Asia Tenggara pertama yang membuka hubungan

diplomatik dengan Vietnam pada tahun 1955. Hal tersebut pada prinsipnya

didasarkan pada kesamaan pandangan antara Indonesia dan Vietnam mengenai

latar belakang sejarah, di mana perjuangan Indonesia dan Vietnam untuk

mendapat pengakuan terhadap kemerdekaannya memiliki jalan yang hampir

sama yaitu melalui perang kemerdekaan.

Mengemban tugas sebagai “penghubung”, Indonesia mampu menjalankan

fungsi tersebut dengan baik. Tercatat pada pertengahan tahun 1987 Indonesia

memprakarsai

Cocktail Party

sehingga berhasil mendapatkan kesepakatan

Ho

252

Kelas XII SMA/MA

Chi Minh City Understanding

antara Menlu RI-Menlu Vietnam dan ditindak

lanjuti dengan

Jakarta Informal Meeting

(JIM) I. Pertemuan yang merupakan

babak baru dalam upaya mewujudkan perdamaian ini untuk pertama kalinya

berhasil mempertemukan masing-masing faksi yang bertikai di Kamboja.

Dengan demikian, Indonesia memainkan peran sentral dalam upaya mediasi

penyelesaian

konflik

internal

di Kamboja

ini. Perkembangan

dari pembicaraan

tersebut kemudian dilanjutkan melalui

Jakarta Informal Meeting II

(JIM II) .

Selanjutnya, pertemuan-pertemuan pasca JIM I dan II mulai melibatkan

negara-negara di luar ASEAN yang menunjukan bahwa upaya untuk

mencapai perdamaian di Kamboja telah mencapai tingkat internasional.

Bahkan

memasuki

tahun 1980 terobosan

untuk mencapai

resolusi

atas konflik

Kamboja yang diperankan oleh Indonesia selaku mediator memasuki tahapan

yang lebih progresif lagi dengan adanya partisipasi aktif PBB melalui Dewan

Keamanan dalam berbagai tahapan mediasi. Melalui kesepakatan yang dicapai

pada Konferensi Internasional Paris/

Paris International Conference

(PIC),

dihasilkan suatu kerangka kerja PBB yaitu dengan dibentuknya

Supreme

National Council of Cambodia

(SNC). Kemudian dalam rangka menggodok

kerangka kerja tersebut guna mencapai suatu dokumen akhir tentang

penyelesaian

damai yang menyeluruh

terhadap

konflik

Kamboja,

digelarlah

Informal Meeting on Cambodia

(IMC) I dan II di Jakarta.

Akhirnya, setelah melalui proses perundingan yang panjang, maka

pada tanggal 23 Oktober 1991, digelarlah

Paris International Conference

on Cambodia

(PICC) di bawah pimpinan Ketua bersama

(Co-Chairman)

Indonesia dan Perancis yang memberi hasil ditandatanganinya dokumen

Perjanjian Paris. Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari upaya

perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru dalam pemerintahan yang

demokratis di negara ini.

Paparan bab ini memperlihatkan proses lahirnya kebijakan politik luar

negeri Indonesia bebas aktif dan dinamikanya sejak kemerdekaan hingga

masa reformasi, serta peran aktif Indonesia dalam memelihara perdamaian

dunia baik di tingkat regional dan global. Peran tersebut sesuai dengan

komitmen bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea keempat UUD 1945,

yang menekankan pentingnya peran Indonesia dalam ikut serta mewujudkan

perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.

253

Sejarah Indonesia

KESIMPULAN

1.

Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif.

Bebas maksudnya tidak terikat pada blok tertentu, sedangkan

aktif berarti selalu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia.

2.

Konsep bebas aktif lahir ketika dunia tengah berada dalam

pengaruh dua blok utama setelah selesainya Perang Dunia ke

II, yaitu Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet.

3.

Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perdamaian dunia antara

lain tercermin dari pengiriman Pasukan Misi Perdamaian

Garuda ke wilayah-wilayah konflik di dunia.

4.

Indonesia juga menjadi pelopor atau pendiri organisasi-

organisasi antarbangsa seperti Gerakan Non Blok, ASEAN dan

Konferensi Asia Afrika.

LATIH UJI KOMPETENSI

1.

Jelaskan tentang latar belakang lahirnya politik luar negeri

bebas aktif Indonesia!

2.

Apa persamaan dan perbedaan Konferensi Asia Afrika dan

Gerakan Non Blok?

3.

Jelaskan tentang proses pembentukan ASEAN!

4.

Jelaskan perbedaan antara kebijakan politik luar negeri

Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin dengan masa Orde

Baru!

TUGAS

Buat peta dunia!

Tunjukkan dalam peta tersebut lokasi-lokasi di mana Misi

Perdamaian Garuda pernah ditempatkan. Beri penjelasan singkat !

254

Kelas XII SMA/MA

Daftar Pustaka

Buku

Abdulgani, Roeslan. 1971.

25 Tahun Indonesia

-PBB. Djakarta: PT. Gunung Agung.

Abdullah,

Taufik.

ed. 2012.

Malam

Bencana

1965

dalam

Belitan

Krisis Nasional

. Bagian

I: Rekonstruksi dalam Perdebatan. Jakarta: Yayasan Obor.

Adams, Cindy. 2000.

Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Terj. Abdul Bar

Salim. Jakarta: Ketut Masagung Corp.

Akbar, Akhmad Zaini.

Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Esei-esei dari Fisipol

Bulaksumur,

Solo: Ramadhani, 1990.

Arifin, Z. 2009.

Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, Prosedur.

Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Atmakusumah (ed). (1982).

Takhta Untuk Rakyat

, Jakarta: Gramedia.

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional 2011.

Atlas

Nasional Indonesia:

Sejarah,

Wilayah, Penduduk

dan

Budaya

(vol.III). Jakarta: Bakosutanal.

Bunnell, Frederick P. 1966. “Guided Democracy Foreign Policy: 1960-1965

President Soekarno Moves from Non-Alignment to Confrontation”, dalam

Indonesia

, 2: 37-76.

Caldwell, Malcolm dan Ernst Utrecht. 2011.

Sejarah Alternatif Indonesia

, Terj. Saut Pasaribu.

Yogyakarta: Djaman Baroe.

Center for Information Analysis. 2004.

Gerakan 30 September: Antara Fakta dan Rekayasa,

Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah

. Yogyakarta: Media Pressindo.

Crouch, Harold. 1999.

Militer dan Politik di Indonesia

. Terj. Th. Sumarthana, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Departemen Penerangan Republik Indonesia. 1975.

30

Tahun

Republik Indonesia

. Jakarta:

Departemen Penerangan Republik Indonesia.

Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri. 1971.

Sedjarah Departemen Luar

Negeri

. Jakarta : Deplu RI.

Dwipayana, G dan Nazaruddin Sjamsudin (ed). 2009.

Diantara Para Sahabat. Pak Harto 70

Tahun

. Jakarta: Chitra Kharisma Bunda.

Emmerson, Donal K. 2001.

Indonesia

Beyond

Soeharto:

Negara,

Ekonomi,

Masyarakat,Transisi

, Terj: Donald K Emmerson. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Feith, H. dan Castles, L., 1970,

Indonesian Political Thinking

, 1945 – 1965. New York: Ithaca.

Feith, Herbert, “Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965; Suatu Pengantar”, dalam Miriam

Budiardjo, 1998.

Partisipasi dan Partai Politik

. Jakarta: Yayasan Obor.

Feith, Herbert. 2007.

The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.

Jakarta-Kuala Lumpur: Equinox Publishing.

255

Sejarah Indonesia

Feith, Herbert. 1999.

Pemilihan Umum 1955.

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Girsang, Laidin. 1979.

Indonesia sejak Orde Baru

. Jakarta: Yayasan Lalita.

Gonggong, Anhar dan Musya Asy’arie (ed). 2005.

Sketsa

Perjalanan

Bangsa

Berdemokrasi

. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.

Harmoko. 1986.

Komunikasi Sambung Rasa

. Jakarta : Sinar Harapan.

Hatta, Mohammad. 1948. “Mendayung Antara Dua Karang: Keterangan Pemerintah

tentang Politik-nya kepada Badan Pekerja K.N.P, 2 September 1948”, dalam

Sejarah

Asal Mula Rumusan Haluan Politik Luar Negeri Bebas Aktif

, halaman 12-65.

Indria, Donna Sita dan Anita Dewi Ambar Sari dkk (ed). 2011.

Pak Harto : The Untold

Stories

. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kansil, C.S.T. dan Julianto. 1988.

Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia.

Jakarta: Erlangga.

Kementerian Luar Negeri. 2004.

Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa

, Jakarta: Kemenlu.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2003.

Materi

Pelatihan

Guru Implementasi

Kurikulum 2013 SMA dan SMK/MAK Sejarah Indonesia

. Jakarta: BPSDM-PMK.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2003.

Model

Penilaian

Hasil Belajar

Peserta

Didik.

Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA, Dirjen Pendidikan Menengah,

Kemendikbud.

Kementerian Sosial. 2012.

Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional

. Jakarta: Direktorat.

K2KS, Kemensos RI.

Kunandar.

Penilaian

Autentik

(Penilaian Hasil belajar Peserta Didik Berdasarkan

Kurikulum 2013). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Lane, Max. 2012.

Malapetaka di Indonesia; Sebuah Esei Renungan Tentang Pengalaman

Sejarah Gerakan Kiri

. Terj. Chandra Utama. Yogyakarta: Djaman Baroe.

Leifer, Michael. 1983.

Politik Luar Negeri Indonesia.

Jakarta: Gramedia.

Mackie, Jamie. 2005.

Bandung 1955: Non-Alignment and Afro-Asian Solidarity.

Singapura :

Didier Miller PTE Ltd.

Mahmud, Amir. 1985.

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) Tonggak Sejarah

Perjuangan Orde Baru

. Jakarta: LP3ES.

Mas’od , Mohtar. 1989.

Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971

. terj. M Rusli

Karim. Jakarta: LP3ES.

Noer, Deliar. 1991.

Mohammad Hatta: Biografi Politik

. Jakarta: LP3ES.

Notosusanto, Nugroho dan Ismail Saleh. 1989.

Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI

di Indonesia

, Jakarta: Intermasa.

Notosoetardjo. 1956.

Dokumen-dokumen

Konperensi

Medja Bundar: Sebelum, Sesudah

dan Pembubarannya

, Jakarta: Pustaka Endang.

Nugroho, Tjahyadi. 1984.

Soeharto

Bapak

Pembangunan

Indonesia

. Semarang: Yayasan

Telapak Tangan.

256

Kelas XII SMA/MA

Ong Hok Ham,

Refleksi

tentang

Peristiwa

G 30 S (Gestok)

1965 dan Akibat-Akibatnya,

OSS, 1943, Japanese

Infiltration

Among

The Muslims

Throughout

The World

, E-Asia

University of Oregon Libraries.

Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia. 2004.

Sejarah Diplomasi

Republik Indonesia dari Masa ke Masa: Periode 1945-1950

. Jakarta: Departemen Luar

Negeri Republik Indonesia.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed). 1984.

Sejarah Nasional

Indonesia,

Jilid VI

, Jakarta: PN Balai Pustaka.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993.

Sejarah Nasional

Indonesia VI

, Jakarta: Balai Pustaka.

Prawiro, Radius. 2004.

Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme dalam

Aksi

(edisi revisi). Jakarta: Primamedia Pustaka.

Ricklefs, MC. 2010.

Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.

Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.

Roeder, AG. 1976.

Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto.

Jakarta: Gunung Agung.

Salam Solichin. 1990.

Sjahrir: Wajah Seorang Diplomat

. Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian

Islam.

Salam Solichin. 1992.

Bung Hatta: Pejuang dan Pemikir Bangsa.

Jakarta: Pusat Studi dan

Penelitian Islam.

Sastroamidjojo, Ali. 1974.

Tonggak-tonggak di Perjalananku

. Jakarta: Kinta.

Soeharto. 1989.

Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan saya

.

Otobiografi

seperti

dipaparkan

G Dwipayana dan Ramadhan KH, Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.

Soekarno. 1986.

Amanat

Proklamasi

III: 1956-1960

, Jakarta: Inti Idayu Press dan Yayasan

Pendidikan Soekarno.

-----------. 1956. “Susunlah Konstituante yang benar-benar Konstituante” :

pidato

Presiden Soekarno di Depan Dewan Konstituante.

Suasta, Putu. 2013.

Menegakkan Demokrasi Mengawal Perubahan

. Jakarta: Lestari

Kiranatana.

Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. 2013.

Teror Orde Baru; Penyelewengan Hukum dan

Propaganda 1965-1981

. Terj. Tim Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Bambu.

Sriyono, A. A. 2004.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Zaman yang Berubah

. Dalam

A. A. Sriyono,

Hubungan

Internasional :

Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia

.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Suryadinata, Leo. 1998.

Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto

. Jakarta: LP3ES.

Tornquist, Olle, 2011.

Penghancuran PKI

. Terj. Harsutedjo. Depok: Komunitas Bambu.

Wilopo. 1978.

Zaman Pemerintahan Partai-Partai

, Jakarta: Yayasan Idayu.

Wilson, Donald. W. 1989.

Dari Era Pergolakan Menuju Era Swasembada

. Terj.

257

Sejarah Indonesia

Sulaeman Krisnandi. 1989. Jakarta: Yayasan Nusantara Persada.

Wuryandari, G. 2008.

Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik.

Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Yudhoyono, Susilo Bambang. 2013.

Orasi Ilmiah Presiden SBY pada Pengukuhan Doktor

Honoris Causa dari Universitas Syiah Kuala.

Banda Aceh.

Surat Kabar/Majalah/Website

http://antaranews.com/berita/423139/enam-daerah-rawan-konflik-sosial-di-indonesia,

Februari 2014, jam 10.52.

http://www.arahjuang.com/wp-content/uploads/2014/08/16-Tahun-Reformasi-3

https://gerakanrakyatmarhaen.files.wordpress.com/2011/03/pidato-bk.jpg

http://graphics8.nytimes.com-/packages-/images/photo-/2008/01/08/0108/

SUHARTO/9485440

http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speech/KumpulanPidato Presiden Soeharto

http://kampoengue.blogspot.com/2012/06/taman-mini-indonesia-indah-tmii.html,

2 September 2014, jam 17.15.

http://setkab.go.id./Orasi Ilmiah Presiden SBY pada Pengukuhan Doktor Honoris Causa dari

Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 19 September 2013. Unduhan 7 Agustus 2014,

jam 19.20.

http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2014/04/Presiden-Sukarno-dan-para-pemimpin-

Gerakan-Non-Blok.jpg

http://sindonews.com/

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/cb/Indonesia_Natsir_Cabinet.jpg

http:/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/6/6d/Apra.JPG

http//ymun.yira.org/committees-xli/asean/. Diunduh 17 September 2014, jam. 20.03

258

Kelas XII SMA/MA

Glosarium

BUUD/KUD pemerintah Orde Baru melibatkan para petani melalui koperasi untuk

memperbaiki produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian pemerintah mengembangkan

ekonomi pedesaan dengan menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dengan

membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD)

sebagai bagian dari derap pembangunan nasional. BUUD/KUD melakukan kegiatan

pengadaan pangan untuk stock nasional yang diperluas dengan tugas menyalurkan sarana

produksi pertanian (pupuk, benih dan obat-obatan).

Difusi Partai tahun 1971 pemerintah mengajukan gagasan penyederhanaan Parpol dengan

melakukan pengelompokkan parpol. Hasilnya, parpol Islam seperti NU, Parmusi, PSII,

dan Perti tergabung dalam kelompok Persatuan Pembangunan. Partai-partai nasionalis

seperti Partai Katolik, Parkindo, PNI, dan IPKI tergabung dalam kelompok Demokrasi

Pembangunan. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang

semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di

lingkungan DPR dan MPR.

Memasuki tahun 1973 parpol-parpol melakukan fusi kelompok Persatuan Pembangunan

sejak 5 Januari 1973 berganti nama menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Kelompok demokrasi pembangunan pada 10 Januari 1973 berganti nama menjadi Partai

Demokrasi Indonesia (PDI).

Dwi Fungsi ABRI konsep Dwifungsi ABRI adalah “jiwa, tekad dan semangat pengabdian

ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan

tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun

di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki

keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-

hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan

aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di

lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif

melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.

259

Sejarah Indonesia

Kelompencapir kepanjangan dari kelompok pendengar, pembaca, pemirsa. Merupakan salah

satu program pertanian Orde Baru yang khas, karena menyuguhkan temu wicara langsung

antara petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau bahkan dengan Presiden

Soeharto secara langsung. Kelompencapir merupakan program Orde Baru di bidang

pertanian yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan

pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.110/

Kep/ Menpen/1984. Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat

pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah.

Keluarga Berencana untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, pemerintah Orde Baru

memulai kampanye “Keluarga Berencana” yang menganjurkan setiap pasangan untuk

memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan pertumbuhan

penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan,

penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup. Pengendalian pertumbuhan penduduk

juga bertujuan meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia dan peningkatan

kesejahteraannya. Keberhasilan pemerintah Orde Baru untuk melakukan pengendalian

jumlah penduduk ini dicapai melalui program Keluarga Berencana Nasional yang

dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Nawaksara judul pidato presiden Soekarno pada 22 Juni 1966, menyampaikan pidato

“Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang

berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. Pidato itu berisi sembilan pokok

persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi

pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah

yang terjadi pada 30 September 1965.

Pelita rencana pembangunan nasional dibuat untuk jangka panjang dan jangka menengah.

Pembangunan jangka panjang meliputi waktu 25 tahun. Pembangunan jangka menengah

dilakukan secara bertahap dan sambung-menyambung, yang setiap tahapnya berjangka

waktu lima tahun. Setiap tahap pembangunan jangka menengah ini dinamai Pembangunan

Lima Tahun (Pelita). Kebijaksanaan pembangunan setiap pelita didasarkan atas Pola

Pembangunan Jangka Panjang. Kecuali pada Pelita I, maka setiap pembangunan jangka

penjang dan pelita selalu didasarkan kepada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Tritura mengandung arti Tri Tuntutan Rakyat. Tuntutan tersebut dipelopori oleh KAMI

dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila. Pada 12

260

Kelas XII SMA/MA

Januari 1966 Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu

: (1) Pembubaran PKI, (2) Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S PKI, dan (3)

Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Dokumen Gilchrist dokumen atau catatan yang dibuat oleh Gilchrist, duta besa Inggris pada

tahun 1960an. Dokumen ini dijadikan alasan oleh PKI menuduh AD akan melakukan

kudeta terhadap Sukarno.

Conefo

(Conference of The New Emerging Forces)

Konferensi negara-negara yang tergabung

dalam Nefos.

Dekret Presiden 5 Juli 1959 keputusan atau ketetapan Presiden Soekarno terkait dengan

kondisi politik yang tidak stabil akibat Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan

tugasnya menyusun UUD baru. Dekret ini berisi (1)Pembubaran Dewan Konstiuante; (2)

kembali kepada UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUD;(2) pembentukan MPRS dan

DPAS

Demisioner keadaan tanpa kekuasaan, misal suatu kabinet yang telah mengembalikan

mandatnya kepada kepala negara, tetapi masih melaksanakan tugas sehari-hari sambil

menunggu dilantiknya kabinet baru.

Demokrasi Parlementer demokrasi yang bercirikan banyak partai, dalam pelaksanaan

pemerintahannya ditandai dengan berjalannya sistem kabinet parlementer.

Devaluasi penurunan nilai mata uang yang dilakukan dengan sengaja terhadap mata uang

asing atau terhadap emas dengan tujuan untuk memperbaiki perekonomian.

Dwikora

dwi Komando Rakyat, merupakan komando dari Presiden Sokearno untuk

melakukan konfrontasi kepada Malaysia yang diucapkan pada tanggal 3 Mei 1964. (1)

perhebat ketahanan Revolusi Indonesia (2) bantu perjuangan revolusioner rakyat Manila,

Singapura, Sabah Serawak dan Brunei untuk membubarkan negara boneka Malaysia.

Game of The Emerging Forces

(Ganefo) merupakan salah satu proyek mercusuar Presiden

Soekarno untuk menyelenggaraan pesta olah raga negara-negara

New Emerging Forces.

Inflasi

kemerosotan

nilai mata uang yang karena

banyaknya

dan cepatnya

uang beredar

sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang secara tidak terkendali.

Konfrontasi cara menentang musuh atau kesulitan dengan berhadapan langsung atau terang-

terangan. Misalnya konfrontasi Indonesia dan Malaysia.

Konsepsi Presiden 1957 konspesi Presiden Soekarno yang bertujuan untuk mengatasi dan

menyelesaikan krisis kewibawaan kabinet yang sering dihadapi dengan dibentuknya

261

Sejarah Indonesia

kabinet yang anggotanya terdiri atas 4 partai pemenang pemilu dan dibentuknya Dewan

Nasional.

Konstituante dewan pembuat Undang-Undang Dasar yang dipilih berdasarkan Pemilihan

Umum 1955. Hal ini diatur dalam UUD Sementara 1950.

Mutual Security Act

(MSA) : Dasar adanya penandatangan persetujuan bantuan ekonomi,

teknik dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia. Kasus inilah yang

menyebakan kabinet Sukiman bubar.

NEFOS (

New Emerging Forces)

kelompok negara-negara berkembang yang anti imperialis

dan kolonialis.

Normalisasi pembukaan kembali hubungan diplomasi Indonesia dengan negara-negara

tetangga di kawasan regional dan internasional.

Old Estables Forces

(OLDEFOS ) kelompok negara-negara imperialis/ kolonialis kapitalis

dan negara-negara berkembang yang cenderung pada kelompok imperialis/ kolonialis.

Oposisi merupakan kekuatan pengontrol terhadap penguasa yang memiliki sikap yang

berbeda dengan penguasa.

Panca Usaha Tani

merupakan program yang dicanangkan pemerintah orde baru untuk

meningkatkan produksi pangan, terutama beras.

Perang Dingin situasi politik dunia yang terjadi karena adanya perseteruan dua ideologi dari

dua negara adkuasai yaitu Amerika Serikat yang mewakili blok barat dan Uni Soviet

yang mewakili Blok Timur.

Politik Mercusuar merupakan kebijakan politik yang diterapkan Soekarno pada masa

demokrasi terpimpin yang ingin menunjukkan kemegahan di tengah pergaulan antar

bangsa.

PRRI merupakan pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah

di wilayah Indonesia terhadap pemerintahan pusat.

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional.

Reses masa waktu istirahat antar sidang, biasanya dimiliki oleh lembaga legislatif dan

konstituante

Reshuffle

pergantian, biasanya dimaksudkan untuk pergantian kabiet.

Sanering

kebijakan pemotongan nilai mata uang oleh negara untuk menstabilkan nilai mata

uang.

262

Kelas XII SMA/MA

Separatisme gerakan pengacau keamanan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari negara

kesatuan republik Indonesia.

Trikora (Tiga Komando Rakyat) merupakan komando dari Presiden Sokearno untuk

melakukan perlawanan secara militer kepada Belanda.

Tritura (Tiga Tuntutan rakyat) merupakan tuntutan yang diajukan mahasiswa dan masyarakat

kepada rejim Sokearno untuk memulihkan keadaan nasional.

UNAMET

(United Nations Mission in East Timor)

Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

kasus Timor Timur.

263

Sejarah Indonesia

Profil Penulis

Nama Lengkap

: Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum.

Telp Kantor/HP

: 0818947323

E-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia (FIB-UI)

Bidang Keahlian

: Sejarah

Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:

1.

2009—2010 : Sekretaris Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan)

2.

2011—2013 : Staf Ahli Menteri Pertahanan R.I. Bidang Politik.

3.

2013—2015 : Ketua Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Universitas

Pertahanan (Unhan)

4.

2016--

: Ketua Dewan Guru Besar FIB-UI

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:

1.

S3: Program Pasca Sarjana UI Program Studi Ilmu Sejarah (1993--1999.

2.

S2: Sandwich Program Vrije Universiteit Amsterdam & Program Pasca Sarjana UI

Program Studi Ilmu Sejarah (1988--1991)

3.

S1: Fakultas Sastra UI Jjurusan/Program Studi Ilmu Sejarah (1972--1979)

Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):

1.

Integrasi Bangsa Dalam Bingkai Keindonesiaan, (Jakarta, Wedatama Widya Sastra

(2017).

2.

Bogor Zaman Jepang 1942—1945. Depok, Komunitas Bambu, 2017.

3.

Cilacap 1830—1942: Bangkit dan Jatuhnya Sebuah Pelabuhan di Jawa (Yogya-

karta, Ombak, 2016)

4.

Perang Buton vs Komopeni Belanda 1972—1776: Mengenang Kepahlawanan La

Karambau. (Depok, Komunitas Bambu, 2015).

5.

Nasionalisme, Laut, & Sejarah. (Depok, Komunitas Bambu, 2014).

Judul Penelitian dan Tahun Terbit (5 Judul Terakhir):

1.

Budaya Bahari dan Integrasi (2017) Belum terbit.

2.

Pemekaran Wilayah & Politik Ruang: Wacana Filsafat, Sejarah, dan Budaya

(2017) Belum Terbit

3.

Diaspora Orang Buton (2009) dalam proses terbit 2018.

264

Kelas XII SMA/MA

Nama Lengkap

: Dr. Linda Sunarti

Telp Kantor/HP

: 021 7270038/7875316

E-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia, Gd.3, Lt.3, Kampus UI

Depok 16424

Bidang Keahlian

: Sejarah Diplomasi Indonesia dan Asia

Tenggara

Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:

1.

Staf Pengajar Program Studi Ilmu Sejarah (1996- sekarang)

2.

Ketua Program Studi Ilmu Sejarah FIB-UI (2013- sekarang)

3.

Ketua Perkumpulan Program Studi Sejarah SeIndonesia (PPSI) (2015-sekarang)

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:

1.

S3 : Departemen Ilmu Sejarah , Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia (2008-2013)

2.

S2 : Departemen Ilmu Sejarah , FIB-UI (1998-2001)

3.

S1 : Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastera UI (1988-1994)

Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):

1.

Dari Dewan Pertahanan Negara Sampai Dewan Ketahanan Nasional, Sekretariat

Jenderal Dewan Pertahanan Nasional, Kemenhan RI, 2009

2.

Toponimi Jakarta, Direktorat Nilai Sejarah dan Nilai Tradisi Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata (2010)

3.

Basuki Abdullah dan Karya Lukisannya : Tema Sejarah dan Sosial, Museum

Basuki Abdullah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud RI (2014)

4.

Persaudaraan Sepanjang Hayat? Mencari Jalan Penyelesaian Damai Konfrontasi

Indonesia-Malaysia 1963-1966. Serat Alam Media. Jakarta (2014)

5.

Presiden-Presiden Republik Indonesia 1945-2014. Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan RI, Jakarta (2014)

265

Sejarah Indonesia

Nama Lengkap

: Arif Pradono, S.S., M.I.Kom.

Telp Kantor/HP

: -

E-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: Rangkapan Jaya Baru, Jl. Batas,

Pancoran Mas, Depok

Bidang Keahlian

: Sejarah

Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:

1.

Dengan mengajar di sebuah Desa Tertinggal (1993-1996)

2.

Wakil Kepala Bidang Akademik dan Kepala Sekolah Dian Ilmu-Labschool Cinere

(2002 – 2008)

3.

pengajar di Universitas Terbuka dan aktif dalam penulisan berbagai buku dan

penelitian di AISIS.

4.

Turut membidani pendirian Sekolah Tinggi Bisnis “Millennia” Jakarta (2015–2016)

5.

Dosen di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (sekarang)

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:

1.

S2 : program fellowship di Paramadina Graduate School di bidang Komunikasi

Politik (2011 – 2013),

2.

S1: Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (1988 – 1994)

Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):

-

DARI

KITA BERPIJAK

PAJAK

266

Kelas XII SMA/MA

Nama Lengkap

: Dr. Abdurakhman

Telp Kantor/HP

: -

E-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: Jalan Ketapang No. 39 Rt. 04 Rw. 09

Pondokcina Depok 16424 Jawa Barat

Bidang Keahlian

: Sejarah Indonesia Kontemporer dan

Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia

Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:

1.

Dosen di Program Studi Ilmu Sejarah FIB UI sejak tahun (1993)

2.

Ketua Program Studi Ilmu Sejarah periode (2008-2012)

3.

Saat ini menjabat sebagai Ketua Departemen Ilmu Sejarah untuk periode

(2015-2019)

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:

1.

S3: Program Doktoral Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya Universitas Indonesia (2013)

2.

S2: Program Pascasarjana Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia (2003)

2.

S1: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, (1993)

Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):

-

NARKOBA,

PENJAJAH

TANPA WAJAH

267

Sejarah Indonesia

Profil Penelaah

Nama Lengkap

: Baha` Uddin, S.S., M.Hum

Telp Kantor/HP

: 0274-513096/081226563523

E-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jl. Sosio-Humaniora No. 1

Bulaksumur, Yogyakarta

Bidang Keahlian

: Sejarah Indonesia

Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:

1.

Staf Pengajar, Jurusan Sejarah, FIB-UGM (1999- sekarang)

2.

Staf Peneliti, Pusat Studi Korea UGM (1998-sekarang)

3.

Staf Peneliti Pusat Manajemen Kesehatan Pelayanan Kesehatan FK-UGM

(2000-2001)

4.

Staf Dewan Kebudayaan Prop. DIY

(2005)

5.

Anggota Revisi Kurikulum IPS Sejarah SMA, BSNP,Depdiknas

(2005-2006)

6.

Anggota Unit Laboratorium Terpadu FIB UGM (2006-sekarang)

7.

Dosen Pembimbing Lapangan KKN PPM Pembrantasan Buta Aksara LPPM UGM

di Jember, Jatim (2006)

8.

Dosen Pembimbing Lapangan KKN PPM Pembrantasan Buta Aksara LPPM UGM

di Jember dan Banyuwangi, Jatim (2007)

9.

Dosen Pembimbing Lapangan KKN PPM Pembrantasan Buta Aksara, LPPM UGM

di Wonosobo, Jawa Tengah (2008)

10.

Dosen Pembimbing Tutor Program Layanan Masyarakat Pembrantasan Buta

Aksara, LPPM UGM di Wonosobo, Jawa Tengah (2008)

11.

Reviewer Buku Pelajaran IPS Sejarah SMU, BNSP Depdiknas (2007)

12.

Bendahara Jurusan Sejarah FIB UGM (2007 - 2012)

13.

Sekretaris Jurusan Sejarah FIB-UGM (2007-2015)

14.

Reviewer Buku Pelajaran IPS Sejarah SD & SMP, BSNP Depdiknas (2008)

15.

Tim Teknis Program Layanan Masyarakat Pembrantasan Buta Aksara LPPM UGM

(2008)

16.

Reviewer Buku Pelajaran Sejarah Kurikulum 2013 (2013-2015)

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:

1.

S2: Program Pascasarjana/Program Studi Humaniora/Universitas Gadjah Mada

(2000 – 2005)

2.

S1: Fakultas Sastra/Jurusan Sejarah/Prodi Ilmu Sejarah/Universitas Gadjah Mada

(1993 – 1998)

Judul Buku Yang Telah Ditelaah dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):

1.

Penelaah Buku Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Umum dan

Sederajat-Depdiknas (2007)

2.

Penelaah Buku Mata Pelajaran IPS Terpadu untuk Sekolah Dasar dan Sekolah

Menengah Pertama-Depdiknas (2008)

268

Kelas XII SMA/MA

3.

Penelaah Buku Pelajaran IPS Sejarah SD & SMP-Depdiknas (2008)

4.

Penelaah Buku Pelajaran IPS Sejarah SMA-Depdiknas (2011)

5.

Penelaah Buku Pengayaan IPS dan Sejarah Kurikulum 2013-Kemendikbud (2013)

5.

Penelaah Buku Palajaran Sejarah Kelas XI Kurikulum 2013-Kemendikbud (2013)

7.

Penelaah Buku Palajaran Sejarah Kelas XII Kurikulum 2013-Kemendikbud (2013)

8.

Penelaah Buku Non-Teks IPS dan Sejarah Kurikulum 2013-Kemendikbud (2014)

9.

Penelaah Buku Pelajaran Sejarah Indonesia Kelas X SMALB Kurikulum 2013-Ke

mendikbud (2015)

10.

Penelaah Buku Pelajaran Sejarah Indonesia Kelas XI SMALB Kurikulum 2013-Ke

mendikbud (2015)

Judul Penelitian (10 Tahun Terakhir):

1.

Pemahaman Antarbudaya dan Budaya Kerja pada Karyawan PT LG Electronics

Indonesia, Legok, Tangerang, Banten (2005)

2.

Dari Mantri Hingga Dokter Jawa: Studi Tentang Kebijakan Pemerintah Kolonial

dalam Penanganan Penyakit Cacar dan Pengaruhnya terhadap Pelayanan

Kesehatan Masyarakat Jawa pada Abad XIX sampai Awal Abad XX (2006)

3.

Studi Teknis Tamansari Pasca Gempa Bidang Sejarah (2007)

4.

Sejarah Perkembangan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2008)

5.

Dinamika Pergerakan Perempuan di Indonesia (2009)

6.

Lebaran dan Kontestasi Gaya Hidup: Perubahan sensibilitas Masyarakat Gunung

Kidul Tahun 1990-an (2009)

7.

Dari Gropyokan hingga Sayembara: Studi Kebijakan Pemerintah Lokal Kadipaten

Pakualaman dalam Pengendalian Penyakit Pes Tahun 1916 - 1932 (2009)

8.

Sejarah dan Silsilah Kesultanan Kotawaringin (2009)

9.

Hari Jadi Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta (2010)

10.

Kebijakan Propaganda Kesehatan pada Masa Kolonial di Jawa (2010)

11.

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas dalam Bidang Kesehatan dan

Pembangunan Pedesaan di Banjarnegara 1972-1989 (2011)

12.

Antara Tradisi dan Mentalitas: Dinamika Kehidupan Komunitas Pengemis di

Dusun Wanteyan, Grabag, Magelang (2011)

13.

Penyakit Sosial Masyarakat di Kadipaten Pakualaman pada masa Pakualam VIII

(1906-1937) (2012)

14.

Warisan Sejarah, Preservasi dan Konflik Sosial Di Ujung Timur Jawa:

Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dan Penyelamatan Warisan Sejarah Dan

Budaya Situs Kerajaan Macan Putih Di Kabupaten Banyuwangi (2012)

15.

Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya (2013)

16.

Sejarah Nasionalisasi Aset-aset BUMN: Dari Perusahaan Kolonial Menjadi

Perusahaan Nasional (2013)

17.

Westernisasi dan Paradoks Kebudayaan: Elit Istana Jawa Pada Masa Paku Alam V

(1878-1900) (2013)

18.

Pemetaan Daerah Rawan Konflik Sosial di DIY (2013)

19.

Bangsawan Terbuang: Studi Tentang Transformasi Identitas Bangsawan Jawa di

Ambon 1718-1980an (2014)

20.

Kajian Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta (2015)

21.

Ensiklopedi Budaya Kabupaten Kulonprogo (2015)

269

Sejarah Indonesia

Nama Lengkap

: Prof. Dr. Hariyono, M.Pd

Telp Kantor/HP

: 0341-562778 / 0818380812

E-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: Jl. Semarang 5 Malang

Bidang Keahlian

: Sejarah Indonesia

Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:

1.

Dosen Sejarah di Universitas Negeri Malang (1988 – sekarang)

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:

1.

S3: Fakultas Ilmu Budaya / Ilmu Sejarah / Universitas Indonesia (1999 – 2004)

2.

S2: PPs / Pendidikan Sejarah / IKIP Jakarta (1990 – 1995)

3.

S1: Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial/Pendidikan Sejarah/IKIP Malang

(1982 – 1986)

Judul Buku Yang Telah Ditelaah dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):

1.

Nasionalisme Indonesia, Kewarganegaraan dan Pancasila. Malang. UM Press

(2010)

2.

Kedaulatan Indonesia Dalam Perjalanan Sejarah Politik. Malang. UM Press (2011)

3.

Nasionalisme dan Generasi Muda Indonesia. Surabaya. Sekretariat Daerah

Propinsi Jawa Timur (2012)

4.

Arsitektur Demokrasi Indonesia; Gagasan Awal Demokrasi Para Pendiri Bangsa.

Malang. Setara Press (2013)

5.

Dinamika Revolusi Nasional. Malang. Aditya Media (2013)

6.

Ideologi Pancasila, Roh Progresif Nasionalisme Indonesia. Malang. Intrans

Publishing (2014)

Judul Penelitian (10 Tahun Terakhir):

1.

Pemikiran Demokrasi menurut Pendiri Bangsa

2.

Sistem Among : Pemikiran Ki Hajar Dewantara

3.

Kekuasaan Raffles di Indonesia

270

Kelas XII SMA/MA

Nama Lengkap

: Dr. Mohammad Iskandar

Telp Kantor/HP

: 08129689391

E-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: Komplek UI, Jl. Margonda Raya, Depok, Jabar

Bidang Keahlian

: Sejarah

Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:

1.

Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia, Depok (2010 – 2016)

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:

1.

S3: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/Program Studi Sejarah – Universitas

Indonesia

2.

S2: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/Program Studi Sejarah – Universitas

Indonesia

3.

S1: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/Program Studi Sejarah – Universitas

Indonesia

Judul Buku Yang Telah Ditelaah dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):

1.

Buku Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI (Erlangga -2013)

2.

Buku Sejarag Indonesia untuk SMA/MA Kelas XII (Erlangga – 2014)

3.

Sejarah Para Pemikir Indonesia (Depbudpar – 2004)

4.

Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Ilmu Pengetahuan (Raja Grafindo Persada/

Rajawali Pers – 2009)

Judul Penelitian (10 Tahun Terakhir):

1. De Javascge Bank 1828 – 1953. (Bank Indonesia – 2014)

2. Perjuangan bangsa mendirikan Bank Sentral (Bank Indonesia – 2015)

271

Sejarah Indonesia

Profil Editor

Nama Lengkap

: Imtam Rus Ernawati, S.S

Telp Kantor/HP

: 08886773802

E-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: PT Intan Pariwara Jalan Ki Hajar Dewantoro, Klaten

Bidang Keahlian

: Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan

Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:

1.

2015 – 2017 : General Manager Product Planning and Controlling PT Intan

Pariwara

2.

2006 – 2015: Product Manager PT Cempaka Putih (Intan Pariwara Group)

3.

2003 – 2006 : Product Leader Ilmu-ilmu Sosial

4.

2002-2003 : Penulis/Editor Sejarah dan IPS

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:

1.

S1: Sejarah/Fakultas Ilmu Budaya/Universitas Gadjah Mada (1991-2001)

Judul Buku Yang Telah Ditelaah dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):

1. Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan, Penerbit Cempaka Putih, 2016

2. Tertib Administrasi Kependudukan, Penerbit Cempaka Putih, 2016

3. Permasalahan Penduduk Perkotaan, Penerbit Cempaka Putih, 2016

4. Globalisasi dan Masalah Kependudukan, Penerbit Cempaka Putih, 2016

5. Penduduk Indonesia dalam Berbagai Konstitusi, Penerbit Cempaka Putih, 2016

6. Hak dan Kewajiban Penduduk Indonesia Menurut UUD 1945, Penerbit Cempaka

Putih

7. Buku Teks Sejarah SMA Kelas X-XII, Penerbit Cempaka Putih, 2011

8. Buku Evaluasi Sejarah SMA, Kelas X-XII Penerbit Intan Pariwara, 2011

9. BukuTeks IPS SD Kelas I-VI Penerbit Cempaka Putih, 2008

10. Buku Teks IPS SMP Kelas VII-IX Penerbit Cempaka Putih, 2008

11. Buku Evaluasi IPS SD Penerbit Cempaka Putih, 2012

12. Buku Pengayaan IPS SD, Penerbit Cempaka Putih, 2009

13. Buku Pengayaan IPS SMP, Penerbit Cempaka Putih, 2009

14. Buku Pengayaan Sejarah SMP dan Sejarah SMA, Penerbit Cempaka Putih, 2009

Judul Penelitian (10 Tahun Terakhir):

-

272

Kelas XII SMA/MA

SEHAT

KUAT

HEBAT

TANPA

NARKOBA